Kamis, 20 Oktober 2011

Show Your True Colors


  What is your true color?
Whatever it is, just show it!

You with the sad eyes
Don't be discouraged
Oh I realize
It's hard to take courage
In a world full of people
You can lose sight of it all
And the darkness, inside you
Can make you feel so small

But I see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you
So don't be afraid to let them show
Your true colors
True colors are beautiful,
Like a rainbow

Show me a smile then,
Don't be unhappy, can't remember
When I last saw you laughing
If this world makes you crazy
And you've taken all you can bear
You call me up
Because you know I'll be there

And I'll see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you
So don't be afraid to let them show
Your true colors
True colors are beautiful,
Like a rainbow

"True Colors" (Phill Collins)

Rabu, 19 Oktober 2011

We Are Like Pencils


An artist was looking at his pencil
and began speaking to the pencil,

"There are five capabilities 
you need to realize about yourself.
After this, you will know that you can be
the best pencil ever:

"You are capable in doing many things,
but you must let yourself
be managed by someone's hand..."

"You're way won't always be smooth,
at times you will be sharpened painfully
for you to create better writing and drawing..."

"If you make any mistakes, don't worry
because you're capable of
correcting your own mistakes.

"What's important is the quality inside of you..."

"Whatever happens, never quit!
Keep on writing and continue drawing.
You must always leave a clear mark
no matter how difficult the situation..."

The pencil listened attentively and promised
to do what it was told...
All it wanted was to make an artist
proud of it...

Now imagine us in the position of the pencil.
If we want to be a person with quality,
we must remember these:

We will be able to do many wonderful things in our lives,
but only if we allow ourselves
to be held in God's hand
as well as sharing the many gifts
you have with others.

You will experience many rough roads in your life
but you must be strong...
That's the only way you will be strong.

What's important is what people see inside you,
not the out side.

Whereever you walk,
make sure you leave your mark.
Whatever the condition,
continue to serve God in all you can.

You must not worry about making mistakes,
learn from them and in time
you will be able to correct and avoid it.

Everyone of us is like a pencil...
created uniquely
and for special reason by the might Maker.

We need to understand those reasons 
so our lives on earth
will be a meaningful one,
while having a close relationship
with God in our heart

Senin, 10 Oktober 2011

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI


Korporasi sebagai badan hukum (rechtpersoon) tidak bisa dikenai tanggung jawab sama persis seperti orang pribadi (natuurlijkpersoon).

Menurut Andi Amir Hamzah sehubungan dengan hal tersebut menyatakan dalam sistem hukum Inggris, korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik[1]:
1.       Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan pada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, manslaughter);
2.       Yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigamy, perkosaan.

Menurut Andi Hamzah sehubungan dengan hal tersebut menyatakan, patut pula diingat bahwa korporasi itu tidak mungkin dipidana, karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korporasi, delik itu harus ada ancaman pidana alternatif dendanya. Apabila korporasi dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh rumusan delik di dalam KUH harus ada pidana alternatif denda sebagaimana hanya dengan W.v.S Belanda sekarang ini[2].

Berdasarkan hal tersebut, Prof Dr. Muladi, SH., dan Prof Dr. Dwidja Priyatno, SH., MH., berpendapat bahwa korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik seperti di negeri Belanda, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya dalam dilakukan oleh manusia, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi[3].

PENUNTUTAN DAN PEMIDANAAN KORPORASI

Penuntutan dan pemidanaan korporasi mempunyai financial impact dan non-financial impact. Financial impact berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh korban akibat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan non-financial impact berkaitan dengan kerugian immaterial yang diderita oleh korban. Oleh karena itu, menurut Prof. Muladi, bilamana tindak pidana yang dilakukan sangat berat, maka di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi.[4]

Clinard and Yeager mengemukakan kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan kepada korporasi. Apabila kriteria tersebut tidak ada, maka sanksi perdatalah yang digunakan. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:[5]
1.       The degree of loss to the public;
2.       The lever of complicity by high corporate managers;
3.       The duration of violation;
4.       The frequency of the violation by the corporation;
5.       Evidence of intent to violate;
6.       Evidence of extortion; as in bribery cases;
7.       The degree of notoriety engendered by the media
8.       Presedent in law;
9.       The history of serious violation the corporation;
10.   Detererrence potential;
11.   The 4 degree of cooperation evinced by the corporation.

Tuntutan dan pemidanaan didasarkan kepada atau tujuan mengandung tujuan pemidanaan, baik yang bersifat preventif dan tindakan represif. Apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan Konsep Rancangan KUHP Baru 2005 adalah “mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat” (Pasal 54 ayat (1) sub a), serta tujuan pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidan, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (Pasal 54 ayat (1) sub c).

Selanjutnya mengingat bahwa sebagian besar dari bentuk kejahatan korporasi berada dalam ruang lingkup administrative penal law, maka ada kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan asas subsidiaritas, yaitu hukum pidana sebagai ultimum remedium dan sanksi administrative dan perdata yang banyak diterapkan.

Saya tidak sependapat dengan Prof. Muladi bahwa hukum pidana dalam pemidanaan korporasi harus didudukkan sebagai primum remedium[6]. Hukum pidana tetap harus didudukkan sebagai ultimum remedium, yaitu sebagai “senjata pamungkas” apabila sanksi administratif maupun perdata, tidak membuat korporasi tersebut menjadi jera.

STELSEL PIDANA YANG DAPAT DIJATUHKAN KEPADA KORPORASI

Stelsel pidana dalam KUHP terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari:
1.       Pidana Pokok;
a)      Pidana mati;
b)     Pidana penjara;
c)      Pidana kurungan;
d)     Pidana denda

2.       Pidana Tambahan
a)      Pencabutan hak-hak tertentu;
b)     Perampasan barang-barang tertentu;
c)      Pengumuman putusan hakim.

Sehubungan dengan masalah stelsel pidana, pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi?

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Sudarto menyatakan:

“Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka dalam sistem hukum pidana Inggris, korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi tidak ada pembatasannya. Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik:
a.       Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, menslaughter)
b.       Yang bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigami, perkosaan.”

Sehubungan dengan apa yang disebut di atas, maka korporasi yang melakukan tindak pidana tersedia pidana pokok denda dan pidana tambahan dan sejumlah tindakan.

Sedangkan Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu[7]:
1.       Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan kepada korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu;
2.       Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.

Sedangkan Suprapto menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah:
1.       Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;
2.       Pencabutan seluruh atau sebagian fasiliteit tertentu yang telah atau dapat diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu;
3.       Penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu


JENIS-JENIS SANKSI (PIDANA) YANG DAPAT DIJATUHKAN TERHADAP KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA[8]

1.   Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
a.     Sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindakan ekonomi yang dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (Pasal 7 ayat (1) sub b);
b.    Perampasan barang-barang tetap tak berwujud atau berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. sub d);
c.     Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk selama-lamanya 1 (satu) tahun (Pasal 7 ayat (1));
d.    Pengumuman putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f);
e.     Tindakan tata tertib seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah unag sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak, meniadakan apa yang telah dilakukan, tanpa hak, melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, se mua atas biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentkan lain (Pasal 8 sub a, b, c); dan
f.      Pidana denda, sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam Pasal 8 harus bersama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhakn terhadap korporasi adalah pidana denda.

Sebagai catatan system penjatuhan pidana yang dianut dalam UUTPE adalah system dua jalur (double track system) artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatukan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.

2.   Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos
a.     Pidana denda;
b.    Tindakan tata tertib (Pasal 19 ayat (3) jo. Pasal 19 ayat (1) dan (2).        
                                Dalam UU Pos juga dianut stelsel pidana “system dua jalur”

3.   Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
a.     Pidana denda (Pasal 20 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1); dan
b.    Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha ketenagalistrikan (Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2)).

4.   Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
a.     Menurut Pasal 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 59 hanya dikenakan denda Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah);
b.    Menurut Pasal 70, Korporasi yang melakukan tindak pidana Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dikenakan:
(1)    Pidana denda sebesar dua kali yang diancamkan; dan
(2)    Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha,


5.   Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 
          Pidana denda diperberat (ayat (4) Pasal 78 s.d Pasal 82)

6.   Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.     Pidana pokok berupa pidana denda diperberat dnegan sepertiga (Pasal 45); dan/atau
     Tindakan tata tertib (Pasal 47) berupa:
(1)    Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2)    Penutupan perushaaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau
(3)    Perbaikan akibat tindak pidana;
(4)    Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(5)    Meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(6)    Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

7.   Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
a.     Untuk korporasi dapat dijatuhkan pidanan denda (Pasal 48). Disamping itu dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
(1)    Pencabutan izin usaha; atau
(2)    Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun;
(3)    Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada pihak lain (Pasal 49)
Khusus untuk “tindakan administratif” dalam Pasal 47 ayat (2) terdapat kejanggalan kebijakan legislasi dalam merumuskan tindakan administratif berupa:
(1)    Penetapan pembatalan perjanjian;
(2)    Perintah menghentikan integrasi vertical;
(3)    Perintah menghentikan kegiatan yang menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidka sehat atau merugikan masyarakat;
(4)    Perintah menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
(5)    Penetapan pembatalan atas penggabungan/peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham;
(6)    Penetapan ganti rugi; dan/atau
(7)    Pengenaan denda minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar Rupiah)

8.   Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a.     Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha adalah pidana denda (Pasal 62)
b.    Pidana tambahan berupa:
(1)    Perampasan barang tertentu;
(2)    Pengumuman keputusan hakim;
(3)    Pembayaran ganti rugi;
(4)    Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
(5)    Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
(6)    Pencabutan izin usaha (Pasal 63)

9.   Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi

Pidana pokok yang dapat dijatukan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya ditambah/diperberat 1/3 (satu pertiga) (Pasal 20 ayat (7)).

10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan usaha/badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paking tinggi pidana denda ditambah sepertiganya (Pasal 56 ayat (2)). Dalam UU tersebut pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh milyar rupiah) (Pasal 52, 54 dan 54).

11. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pidana yang dapat dijatuhkan dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi (Pasal 5 ayat (2)).

Dari pengaturan sanksi terhadap korporasi yang melakukan kejahatan seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa stelsel pidana yang diterapkan terhadap korporasi adalah sebagai berikut:

1.       Pidana denda
2.       Sanksi perdata yaitu ganti kerugian
3.       Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[9] berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib
4.       Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim.

Prof. Muladi pernah mengadakan penelitian empiris terhadap 60 responden mengenai urutan sanksi pidana yang paling tepat dijatuhkan terhadap korporasi. Hasilnya:

1.       Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif[10] berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[11] berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib (dipilih oleh 45 responden atau 72,58%)
2.       Pidana denda (dipilih oleh 33 responden atau 51,61%)
3.       Sanksi perdata yaitu ganti kerugian[12] (dipilih oleh 32 responden atau 51,61%)
4.       Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim, sebanyak 20 orang atau 32,26%.

Dengan demikian, pidana penjara maupun kurungan tidak lazim untuk korporasi, meskipun menurut teori organ, pengurus korporasi dalam hal ini Direksi merupakan pengejawantahan dari organ tersebut.



[1] Loc.cit 
[2] Loc.cit 
[3] Ibid., hal. 98 
[4] Ibid. hal. 144 
[5] Loc.cit 
[6] Ibid., hal 150 
[7] Muladi, et al., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta:Prenada Media Group), 2010, hal. 96 
[8] Ibid., hal. 159-168 
[9] Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.
[10] Tindakan administratif dan 12 sanksi perdata yaitu ganti kerugian sebenarnya tidak termasuk dalam stelsel pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi sanksi tersebut menurut Prof Mulasi perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pemidanaan (dalam arti luas) termasuk tindakan terhadap korporasi. Sebagaimana catatan dalam Konsep Rancangan KUHP 2005 terdapat pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian semacam sanksi perdata tentang ganti kerugian (Pasal 67 ayat (1) huruf d. Lihat Ibid.hal 158.
[11] Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.

ANALISIS PUTUSAN KPPU NO. 09/KPPU-L/2009


Latar Belakang

Penggabungan (merger), Peleburan (konsolidasi) dan Pengambilalihan (akuisisi) adalah hal yang lazim dilakukan dalam lingkup bisnis. Merger, Konsolidasi dan Akuisisi seringkali menjadi jalan keluar bagi suatu perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kembali bisa melakukan aktivitas bisnis, thus menjadi bagi perusahaan-perusahaan besar untuk melebarkan ekspansi bisnisnya ke ranah yang lebih luas.

Merger, Konsolidasi dan Akuisisi sejatinya merupakan tindakan yang sah, sepanjang tindakan tersebut tidak berdampak negatif bagi persaingan. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999, pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha dan melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Secara konseptual, merger, konsolidasi dan akuisisi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Merger

Merger berasal dari akar kata kerja ‘to merge’. Secara lebih luas, ia dipahami sebagai proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan. Menurut Meiners, merger adalah “a contractual process through which one corporation acquires the assets and liabilities of another corporation. The acquiring or surviving, corporation retains its original identity.[1]  Merger seringkali digambarkan dengan simbol ini[2]:
               
Text Box: PT. A + PT. B +( PT. C dst)  = PT. A

Ada beberapa jenis merger, antara lain:

(1)      Merger horizontal (horizontal merger). Merger yang dilakukan antara perusahaan-perusahaan yang sebelumnya merupakan pesaing dalam suatu usaha[3].

(2)      Merger vertikal (vertical merger). Merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang salah satunya merupakan perusahaan supplier bagi yang lain. Dengan kata lain, merger vertikal adalah merger di antara perusahaan-perusahaan yang berada dalam hubungan pembeli-penjual (buyer-seller relationship). Merger yang terjadi antara suatu manufacturer dengan distributor suatu produk adalah contoh dari jenis merger ini, karena manufacturer dengan distributor suatu produk adalah contoh dari jenis merger ini, karena manufacturer merupakan supplier bagi distributor[4]. Merger vertikal ini juga bisa dibedakan menjadi dua, yaitu merger vertical maju (forward vertical merger) dan merger vertical mundur (backward vertical merger). Forward vertical merger dikatakan terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan lain yang merupakan distributornya. Backward vertical merger terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan lain yang menjadi supplier-nya.

(3)      Merger Persaingan Potensial (Potential Competition Merger). Merger yang terjadi apabila suatu perusahaan yang bermaksud memasuki pasar dalam suatu industri dibeli oleh dan digabungkan dengan perusahaan yang sudah eksis di pasar itu, yang akan tersaingi jika ada perusahaan baru masuk dalam pasar industri itu. Hasil dari potential competition merger ini adalah bahwa calon pesaing yang akan hadir di suatu pasar akan menjadi lenyap.

Konsolidasi

Konsolidasi (peleburan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum[5]. Konsolidasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Text Box: PT. A + PT. B + (PT C dst.) = PT. D

Dari simbolisasi di atas, tergambar bahwa setelah konsolidasi, hanya ada satu entitas hukum yang baru sebagai peleburan dari beberapa entitas hukum lama.

Akuisisi

Akuisisi (pengambilalihan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk pengambilalihan saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan terbatas tersebut[6]. Secara konseptual, akuisisi Perseroan digambarkan sebagai berikut:

Text Box: PT. A + PT. B = PT. A + PT. B

Dari simbolisasi di atas, tergambar bahwa setelah proses akuisisi, tidak ada perubahan eksistensi dari entitas hukum. Sebelum proses akuisisi dan sesudah proses akuisisi, entitas hukum Perseroan masih tetap. Tidak ada entitas hukum yang berakhir demi hukum setelah proses pengambilalihan. Yang berubah sejatinya hanya posisi pemegang saham mayoritas yang kemudian menjadi pemegang saham minoritas[7].

Merger, Konsolidasi dan Akuisisi dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia

Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan diatur dalam Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah sebagai Peraturan Pelaksana Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1999 adalah Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha TIdak Sehat (PP 57/2010).

Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 57/2010, “Pelaku Usaha dilarang melakukan Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.”

Dari bunyi pengaturan tersebut, kita mengetahui bahwa perbuatan hukum Penggabungan (Merger), Peleburan (Konsolidasi) dan Akuisisi (Pengambilalihan), bukanlah perbuatan hukum yang dilarang. Tetapi jika perbuatan hukum tersebut mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat, itulah yang tidak dikehendaki. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa sisi akibat yang menjadi fokus utama, yang mengakibatkan perbuatan hukum penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan akuisisi (pengambilalihan) dikategorikan “dilarang” atau “tidak dilarang”.

Pada 18 Oktober 2010, dikeluarkan Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Peraturan KPPU 13/2010).

Pedoman ini menjelaskan mengenai: (1) penggabungan, peleburan atau pengambilalihan seperti apa yang dapat dinotifikasikan kepada Komisi; (2) prosedur pemberitahuan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan; dan (3) aspek-aspek yang akan dinilai oleh Komisi dalam memberikan pendapatnya serta prosedur konsultasi rencana penggabungan, peleburan atau pengambilalihan oleh pelaku usaha terhadap Komisi[8].

Dalam Peraturan KPPU 13/2010 yang dimaksud dengan[9]:

Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua badan usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu badan usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari badan usaha yang meleburkan diri dan status badan usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambilalih saham badan usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha tersebut.

Menurut KPPU, merger[10] secara sederhana adalah tindakan pelaku yang mengakibatkan:

1.         Terciptanya konsentrasi kendali dari beberapa pelaku usaha yang sebelumnya independen kepada satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha; atau
2.         Beralihnya suatu kendali dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya yang sebelumnya masing-masing independen sehingga menciptakan konsentrasi pengendalian atau konsentrasi pasar.

Pengawasan Merger

Pra Notifikasi adalah pemberitahuan resmi yang wajib disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi, apabila Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dilakukan mengakibatkan nilai aset atau nilai penjualannya melebihi jumlah nilai yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

KPPU melakukan pengawasan merger dalam bentuk:

1.         Pemberitahuan merger (pra notifikasi)
2.         Konsultasi merger

Pemberitahuan Merger (pra-notifikasi)

Pra Notifikasi adalah pemberitahuan resmi yang wajib disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi, apabila Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dilakukan mengakibatkan nilai aset atau nilai penjualannya melebihi jumlah nilai yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sesuai Pasal 29 UU 5/1999 dan Pasal 5 PP 27/2010, pemberitahuan merger kepada KPPU wajib dilakukan paling lama 30 hari sejak tanggal merger berlaku efektif secara yuridis. Itu artinya, setelah pelaku usaha melakukan penggabungan, peleburan atau pengambilalihan saham, maka perusahaan hasil merger melakukan pemberitahuan kepada KPPU.

Konsultasi Merger

Konsultasi adalah permohonan saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis yang diajukan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi atas rencana Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, dan Pengambilalihan Saham Perusahaan sebelum Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan berlaku efektif secara yuridis.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 PP 57/2010, KPPU memberi kesempatan kepada pelaku usaha untuk melakukan konsultasi kepada KPPU secara sukarela (lisan maupun tulisan) sebelum melakukan merger guna meminimalkan resiko kerugian yang mungkin diderita oleh pelaku usaha jika mergernya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena di kemudian hari akan dibatalkan oleh KPPU.

Penilaian Merger

Pasal 28 UU 5/1999 menyatakan bahwa merger dilarang apabila mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Itu terjadi jika setelah merger pelaku usaha dapat diduga melakukan perjanjian yang dilarang, dan/atau penyalahgunaan posisi dominan.

Untuk menilai apakah merger dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, KPPU akan melakukan penilaian terhadap pemberitahuan maupun konsultasi merger berdasarkan analisis:

1.         Konsentrasi pasar;
2.         Hambatan masuk pasar
3.         Potensi perilaku anti persaingan
4.         Efisiensi; dan/atau
5.         Kepailitan

KASUS AKUISISI YANG DITANGANI KPPU

Pada 21 Januari 2008, nota kesepahaman (MoU) antara PT. Carrefour Indonesia (Carrefour), PT. Sigmantara Alfindo Prime Horizon Pte.Ltd untuk membeli 75 persen saham PT. Alfa Retailindo (Alfa) ditandatangani di Jakarta. Nota kesepahaman itu kemudian ditindaklanjuti dengan penandatangan perjanjian jual beli saham antara Carrefour dan Alfa pada 21 Januari 2008.

Setelah diakuisisi Carrefour, dari 30 gerai ex-Alfa, 14 ganti nama jadi Carrefour Express, dan 16 jadi Carrefour. Dengan demikian, pasca mengakuisisi Alfa, Carrefour beroperasi di dua format: hypermarket dan supermarket.

Carrefour dan ritel modern lainnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memasok barang dari pemasok dan menjualnya kepada konsumen. Keberadaan format ritel modern menawarkan produk yang murah thus memberi kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen. Namun fitur layanan pro konsumen dan harga murah dilakukan dengan mengeksploitasi rabat yang dimintakan kepada pemasok barang.

Oleh Carrefour, rabat yang dipersyaratkan untuk produk tertentu awalnya sebesar 20% dari harga jualnya ke Carrefour. Besaran rabat ini kemudian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bahkan ada di antara pemasok yang diminta rabat oleh Carrefour sampai dengan 70% dari harga pasokannya. Selain itu pemasok juga mendapatkan perlakuan abusive dari Carrefour berupa pengenaan biaya promosi yang sangat tinggi. Seluruh ketentuan kerjasama tersebut dituangkan Carrefour dalam dokumen trading terms.

Terkait dengan tindakan itu, oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Carrefour diperintahkan untuk melepas seluruh kepemilikannya di Alfa melalui Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009 tanggal 3 November 2009.

Paper ini akan menganalisis pertimbangan hukum yang dipakai KPPU dalam memutus kasus akuisisi Carrefour atas Alfa. Sengketa ini menarik. Meskipun Carrefour tidak terbukti melanggar Pasal 28 ayat (2) UU 5/1999 yang substansi normanya mengatur tentang tindakan akuisisi yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, namun KPPU tetap menjatuhkan sanksi administratif berupa perintah bagi Carrefour untuk melepas seluruh kepemilikannya di Alfa.

Analisis Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009

Dalam putusan ini, sepertinya majelis hakim menjatuhkan sanksi memerintahkan Carrefour untuk membatalkan akuisisi terhadap Alfa berdasarkan suatu penilaian bahwa setelah melakukan akuisisi, Carrefour terbukti menyalahgunakan market power yang dimilikinya sehingga melanggar ketentuan tentang penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999.

Pada dasarnya, analisis dampak bagi praktek akuisisi bertolak dari definisi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UU Persaingan Usaha[11]. Di satu sisi, kejelasan normatif bagi kajian terhadap akuisisi adalah analisis dampak adanya praktek monopoli dengan menggunakan indikator pemusatan kekuatan ekonomi. Pemusatan ekonomi merujuk pada kekuatan pasar bagi pelaku usaha yang melakukan akuisis baik sebelum dan sesudah akuisisi. Dalam Pasal 1 angka 3 UU Persaingan Usaha, pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa[12].

Apakah dalam memutus kasus ini KPPU menerapkan analisis seperti itu?

Dalam kasus ini, KPPU menilai Carrefour terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999 tentang penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Untuk dapat dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat (1) maka perlu memenuhi unsur: (1) pelaku usaha; (2) menguasai pasar; (3) pelaku usaha tersebut menerapkan sebuah kebijakan usaha; dan (4) kebijakan usaha tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Berikut ini adalah temuan-temuan KPPU terkait terpenuhi-tidaknya keempat unsur Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999:

Unsur Pelaku Usaha

Carrefour adalah badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia serta melakukan kegiatan usaha di bidang perekonomian, dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.

Unsur Menguasai Pasar

Menurut Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999, pelaku usaha dianggap menguasai pasar jika produk barang/jasa yang diproduksi dan/atau dipasarkan belum ada substitusinya atau mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama atau pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Menurut pertimbangan KPPU, Carrefour memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen pada pangsa pasar bersangkutan hulu (upstream). Dalam pasar bersangkutan, jumlah pelaku usaha diukur dari adanya peningkatan jumlah pelaku usaha di pasar bukan dari peningkatan jumlah output produksi (6.3.8.9). Pasar bersangkutan hulu adalah pasar yang menunjukkan relasi antara pemasok barang/jasa dan Carrefour yang berbeda dengan pasar hilir (downstream) yaitu pasar yang menunjukkan relasi antara Carrefour dan konsumen.

Kondisi persaingan juga dapat diukur dari tingkat konsentrasi dan kecenderungan yang ditunjukkan menggunakan indikator nilai HHI dan CR4. Tingkat konsentrasi tinggi dan cenderung meningkat menunjukkan bahwa kondisi pasar bersangkutan didominasi oleh beberapa pelaku usaha tertentu (6.3.8.10.). KPPU menilai bahwa kondisi pasar bersangkutan upstream sangat terkonsetrasi dengan kecenderungan yang terus meningkat, dimana Carrefour menjadi pelaku usaha dominan di dalamnya (5.46). Sebelum akuisisi pada 2007, tingkat HHI industri mencapai angka 2950,09 dengan nilai CR4 mencapai 93,36 persen yang menandakan konsentrasi yang sangat tinggi dari suatu industri. Setelah akuisisi angka tersebut semakin meningkat (6.3.8.12)

Nilai HHI dan CR4 tersebut yang menandakan adanya kekuatan pasar yang dimiliki Carrefour serta kondisi struktur industri yang kurang mendukung terciptanya pesaingan sehat belum dapat dijadikan alasan untuk menyatakan Carrefour yang memiliki market power tersebut melakukan pelanggaran. Market power yang dimiliki Carrefour dinyatakan melanggar hukum persaingan usaha apabila market power tersebut secara unilateral digunakan untuk mengeksploitasi suprplus konsumen dan/atau mencegah pelaku usaha bersaing untuk masuk ke pasar atau bersaing secara efektif (6.3.8.13.). KPPU merujuk temuan beberapa perilaku unilateral dari Carrefour sebagai upaya untuk mengeksploitasi surplus dari para pemasoknya (6.3.8.14).

KPPU juga menunjukkan temuan adanya tindakan pararel yang dilakukan oleh Carrefour pada pasar bersangkutan yang terjadi pada kondisi tingkat konsentrasi yang cenderung meningkat serta adanya entry barrier sehingga menjadikan kondisi merugikan konsumen yang berpotensi tetap akan terjadi dalam jangka panjang (6.3.8.17). Dengan demikian, KPPU menyimpulkan bahwa dampak syarat perdagangan (trading terms) yang diterapkan Carrefour terhadap pemasok menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing.

Unsur menerapkan kebijakan usaha

Menurut KPPU, dengan melakukan akuisisi terhadap Alfa, Carrefour telah menerapkan sebuah kebijakan usaha.

Unsur dampak negatif dari kebijakan usaha

KPPU sependapat dengan penilaian tim pemeriksa yang menunjukkan adanya tindakan-tindakan Carrefour yang mengeksploitasi surplus dari pemasok dengan menyalahgunakan penguasaan 57,99 persen pangsa pasar bersangkutan upstream setelah mengakuisisi Alfa, antara lain (6.3.8.14): (1) menerapkan besaran trading terms kepada para pemasok Alfa, sehingga pasca akuisisi, trading term antara pelaku bisnis, pemasok dan peretail cenderung naik dari tahun ke tahun tanpa justifikasi yang jelas; (2) memaksakan pemasok Carrefour untuk juga memasok pada Alfa (Tying in).

Dengan tindakan-tindakan itu, Carrefour dinilai telah melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya persaingan efektif dalam pasar yang bersangkutan, sehingga kondisi tersebut menyebabkan konsumen tidak dapat menghindari penyalahgunaan kekuatan pasar oleh Carrefour sehingga dalam jangka waktu pendek konsumen bisa kehilangan pilihan (6.3.8.16), dan tindakan yang dilakukan tersebut menunjukkan tren yang terus meningkat sehingga menjadikan kondisi merugikan konsumen tersebut berpotensi tetap terjadi dalam jangka panjang. (6.3.8.17)

Oleh karena itu KPPU menilai bahwa terdapat dampak negatif pada persaingan sebagai akibat akuisisi yang dilakukan Carrefour terhadap Alfa.

CATATAN AKHIR

1.         Menurut KPPU, merger yang menciptakan konsentrasi pasar tinggi berpotensi mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bergantung pada analisis lainnya pada pasar bersangkutan berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999, sehingga walaupun Pasal 28 UU 5/1999 dianulir, sebagai lembaga yang berwenang menciptaan persaingan usaha yang sehat maka putusan pembatalan akuisisi dapat diterapkan dalam kasus ini;
2.         Menurut KPPU, akuisisi dilarang apabila mengakibatkan terjadinya pemusatan ekonomi pada bidang produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa. Pemusatan kekuatan ekonomi mengacu pada Pasal 1 angka 3 UU 5/1999 “penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.”

BAHAN BACAAN

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Salatiga: Griya Media.

Yakub Adi Krisanto, "Analisis Akuisis Alfa Supermarket oleh Carrefour" dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Salatiga, Widya Sari Press, 2008

Daftar Peraturan

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Lampiran Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010,



[1] Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 32
[2] Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Salatiga: Griya Media, hal. 204
[3] Arie Siswanto, Op. cit., hal. 34
[4] Ibid., hal. 34
[5] Pasal 1 angka 10 UU No. 40 Tahun 2007
[6] Pasal 1 angka 11 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[7] Tri Budiyono, Op. Cit., hal. 217.
[8] Lampiran Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010, hal. 1.
[9] Ibid, hal. 4.
[10] KPPU hanya menggunakan istilah merger untuk menunjuk tindakan-tindakan mencakup konsolidasi, akuisisi, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Lihat: Ibid, hal. 5.

[11] Yakub Adi Krisanto, "Analisis Akuisis Alfa Supermarket oleh Carrefour" dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Salatiga, Widya Sari Press, 2008, hal. 37.
[12] Ibid, hal. 38.