I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Jasa Konstruksi adalah
layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan
konstruksi (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi). Jasa konstruksi mempunyai peranan yang penting dan strategis
mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk
fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi
mendukung pertumbuhan dan perkembangan di berbagai bidang.
Hal yang menarik dalam
jasa konstruksi adalah asumsi khalayak umum mengenai Kontrak Kerja Konstruksi
adalah bahwa Pengguna Jasa dalam Kontrak Kerja Konstruksi hanya terbatas
pemerintah, padahal dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 1999 Pengguna Jasa
adalah perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Dengan kata lain,
pihak Pengguna Jasa tidak hanya terbatas pada pemerintah, sehingga diperlukan
klarifikasi lebih lanjut mengenai siapa saja para pihak dalam yang terlibat
dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Problematika lainnya
dalam Kontrak Kerja Konstruksi adalah mengenai kesetaraan kedudukan antara para
pihak dalam jasa konstruksi yaitu Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Seyogyanya,
menurut teori keadilan (John Rawls), para pihak memiliki kedudukan yang setara
dalam pembentukan Kontrak Kerja Konstruksi. Sebelum masuk ke ranah pembentukan
kontrak senyatanya di lapangan, seyogyanya kesetaraan kedudukan Pengguna Jasa
dan Penyedia Jasa telah terlebih dahulu diatur dalam pengaturan mengenai Jasa
Konstruksi.
Secara umum, kontak
konstruksi harus mengacu kepada
peraturan berikut ini[1]:
1.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi;
2. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang
Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi;
3.
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
No. 59 Tahun 2010;
4. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi;
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dan
6.
AV 41 dan peraturan lain sejauh tidak
bertentangan dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 29 Tahun 2000;
7.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2006
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
8. Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Problematika mengenai
kontrak konstruksi yang sedang marak akhir-akhir ini adalah Kontrak Kerja
Konstruksi yang Pengguna Jasanya adalah pemerintah (selanjutnya disebut Kontrak
Kerja Konstruksi Pemerintah), kaitannya dengan tindakan hukum pemerintah dalam
kontrak tersebut berada di ranah hukum mana: publik atau privat. Seperti
halnya, tindakan hukum pemerintah dalam kontrak pembangunan Jalan Lingkar
Selatan (JLS) tahun 2008, yang para pihaknya adalah Pemerintah Kota Salatiga, dalam
hal ini diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom) dari Dinas Pekerjaan
Umum Salatiga sebagai Pengguna Jasa dan Direktur PT. Kuntjup – PT. Kadi International
sebagai Penyedia Jasa.
Kontrak kerja konstuksi
yang seharusnya berada pada ranah Hukum perdata seringkali langsung dikaitkan
dengan ranah Hukum Administrasi Negara dan ranah Hukum Pidana karena asumsi bahwa tindakan
hukum pemerintah adalah perbuatan hukum publik, karena sumber dananya adalah
APBN/APBD. Hal ini hangat diperbincangkan dalam Seminar Nasional bertajuk
“Status Hukum Kontrak Kerja Konstruksi: Kesucian Kontrak vs Kriminalisasi” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum UKSW bekerja sama
dengan LPJK-D Jateng dan BPD Jateng pada tahun 2010 yang lalu.
Dalam Seminar Nasional
tersebut sama sekali tidak membahas mengenai Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kontruksi (selanjutnya disebut PP No. 29
Tahun 2000). Padahal PP No. 29 Tahun 2000 (telah diubah dengan PP No. 59 Tahun
2010) tersebut penting berkaitan dengan penyelenggaraan jasa konstruksi
khususnya tentang kontrak kerja kontruksi, tanggung jawab para pihak dalam Kontrak
Kerja Konstruksi maupun wanprestasi (breach
of contract) dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
Dalam Pasal 23 PP No. 29
Tahun 2000 dijelaskan secara rinci antara lain mengenai para pihak, tanggung
jawab Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa, maupun ganti rugi apabila terjadi
wanprestasi dalam penyelenggaraan Kontrak Kerja Konstruksi. Oleh, karena itu,
menurut hemat kami, PP No. 29 Tahun 2000 ini seharusnya menjadi landasan dalam pembentukan
Kontrak Kerja Konstruksi karena PP No. 29 Tahun 2000 ini merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang No. 18 Tahun 1999.
B.
Permasalahan
Makalah ini akan membahas
mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.
Bagaimana analisis Teori Keadilan (John Rawls)
dalam pengaturan jasa kontruksi yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi dan PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi?
2.
Bagaimana pilihan penyelesaian sengketa melalui
jalur perdata dapat difungsikan apabila terjadi wanprestasi (breach of contract) dalam kontrak kerja
jasa konstruksi?
3.
Bagaimana penyelesaian sengketa dalam Kontrak
Kerja Konstruksi pemerintah?
II.
Landasan
Teoritis tentang Teori Keadilan dan Wanprestasi (Breach of Contract)
Landasan teoritis yang digunakan dalam
makalah ini adalah mengenai teori keadilan dan wanprestasi. Berikut uraian
mengenai kedua hal tersebut:
A.
Teori
Keadilan
Teori Keadilan yang
dikemukakan oleh John Rawls bertitik tolak pada terma Posisi Asali yaitu status
quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai adalah fair[2]. Semua
orang mempunyai hak yang sama dalam prosedur memilih prinsip; setiap orang bisa
mengajukan usulan, menyampaikan penalaran mereka, dan lain-lain[3].
Dalam konteks ini Rawls
menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip
rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Oleh karena itu diperlukan
prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas
manfaat. Salah satu prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh Rawls yaitu
prinsip the greatest equal principle,
bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak
yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata
lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka
keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak)[4].
Menurut Prof. Dr. Agus
Yudha Hernoko., SH., MH, the greatest
equal principle adalah “prinsip kesamaan hak” yang merupakan prinsip yang
memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban
kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang. Prinsip ini merupakan roh dari asas
kebebasan berkontrak. [5]
B.
Wanprestasi
(breach of contract)
Wanprestasi (breach of contract) seringkali
dipersamakan dengan terma cidera janji, ingkar janji, atau prestasi buruk yang artinya
tidak melakukan kewajiban kontraktualnya sesuai dengan kesepakatan yang
dibuatnya.
Wujud wanprestasi dapat
berupa:
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk
dilakukan;
b.
Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi
tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
c.
Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi
terlambat;
d.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.
Akibat hukum debitur
wanprestasi:
a.
Membayar ganti rugi;
b.
Pembatalan perjanjian;
c.
Peralihan risiko;
d.
Pembayaran biaya perkara.[6]
III.
Hasil
Bedah Peraturan dan Analisis
A.
Hasil
Bedah Peraturan mengenai Kontrak Kerja Konstruksi
Berikut ini pengaturan
mengenai kontrak kerja kontruksi dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang
Jasa Kontruksi dan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
1.
Definisi
Kontrak Kerja Konstruksi
Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan
dokumen yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan pekerjaan kontruksi (Pasal 1 angka 5 UU No. 18 Tahun
1999).
Kontrak Kerja Konstruksi diatur dalam Pasal
22 UU No. 18 Tahun 1999 & Pasal 20-23 PP No. 29 Tahun 2000. Kontrak Kerja
Konstruksi pada dasarnya dibuat secara terpisah
sesuai dengan tahapan dalam pekerjaan konstruksi yang terdiri dari Kontrak
Kerja Konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, Kontrak Kerja Konstruksi untuk
pekerjaan pelaksanaan dan Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan pengawasan (Pasal
20 ayat (1) PP No. 29 Tahun 2000).
Dalam hal pekerjaan terintegrasi, Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana tersebut di atas
dapat dituangkan dalam 1 (satu) Kontrak Kerja Konstruksi (Pasal 20 ayat (2) PP
No. 29 Tahun 2000)
2.
Prinsip
Keseimbangan dalam Kontrak Kerja Konstruksi
Pasal 2 UU No. 18 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa asas yang melandasi pengaturan jasa konstruksi adalah antara lain asas
keadilan dan keseimbangan. Selain itu, dalam Pasal 3 b Undang-Undang No. 18
Tahun 1999, dinyatakan bahwa salah satu tujuan pengaturan jasa konstruksi
adalah “untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan
kepada ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.”
3.
Para
Pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi
Para pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi
adalah Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa:
a. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan
sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan
jasa konstruksi;
b. Penyedia Jasa adalah orang-perseorangan atau
badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa kontruksi.
(Pasal 1 angka 3 dan 4
UU No. 18 Tahun 1999)
Dalam Kontrak Kerja Konstruksi harus dimuat
uraian mengenai para pihak yaitu:
1)
Akta badan usaha atau usaha perseorangan;
2)
Nama wakil/kuasa badan usaha sesuai kewenangan
pada akta badan usaha atau sertifikat keterampilan kerja bagi usaha perorangan;
dan
3)
Tempat kedudukan dan alamat badan usaha atau
usaha orang perseorangan. (Pasal 23 ayat (1) huruf a PP No. 29 Tahun 2000).
Penyedia Jasa kontruksi yang merupakan
perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil
yang berteknologi sederhana dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi
yang berisiko besar dan atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya
besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas
dan badan usaha yang dipersamakan.
4.
Ruang Lingkup
Kontrak Kerja Konstruksi
Ruang Lingkup Kontrak Kerja Konstruksi
mencakup definisi pekerjaan konstruksi yaitu keseluruhan atau sebagian
rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan
atau bentuk fisik lain (Pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun 1999).
Kontrak Kerja Konstruksi sekurang-kurangnya
harus mencakup uraian mengenai:
a.
Para pihak, yang memuat secara jelas identitas
para pihak;
b.
Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas
dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan dan batasan waktu pelaksanaan;
c. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang
memuat tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk
melaksanakan pekerjaan konstruksi;
d.
Tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang
jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melakukan pekerjaan
konstruksi;
e. Hak dan kewajiban, yang memuat hak Pengguna Jasa
untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi
ketentuan yang diperjanjikan serta hak Penyedia Jasa serta kewajibannya
melaksanakan pekerjaan konstruksi;
f.
Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang
kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
g.
Cedera janji, yang memuat ketentuan tentang
tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang diperjanjikan;
h.
Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan
tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i.
Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, yang memuat
ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak
dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j.
Keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul
di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah
satu pihak;
k.
Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan
tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas kegagalan bangunan;
l.
Perlindungan pekerja yang memuat ketentuan
tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
serta jaminan sosial;
m. Aspek
lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang
lingkungan.
(Pasal 22 ayat 2 PP No.
20 Tahun 1999)
Rumusan pekerjaan dalam Kontrak Kerja
Konstruksi meliputi:
a.
Pokok-pokok pekerjaan yang diperjanjikan;
b.
Volume atau besaran pekerjaan yang harus
dilaksanakan;
c.
Nilai pekerjaan dan ketentuan mengenai
penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga untuk kontrak kerja
konstuksi bertahun jamak;
d.
Tata cara penilaian hasil pekerjaan dan
pembayaran; dan
e.
Jangka waktu pelaksanaan.
(Pasal 23 ayat (1) huruf
b PP No. 29 Tahun 2000)
5.
Pengikatan
Kerja Jasa Konstruksi
Pengikatan dalam hubungan kerja konstruksi
dilakukan berdasarkan prinsip persaingan sehat melalui pemilihan Penyedia Jasa
dengan cara pelelangan umum secara terbatas. Pengikatan merupakan suatu proses
yang ditempuh oleh Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa pada kedudukan yang sejajar
dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Dalam
setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
adil dan serasi yang disertai dengan sanksi[7].
Prinsip persaingan sehat mengandung
pengertian antara lain[8]:
a.
Diakuinya kedudukan yang sejajar antara Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa;
b.
Dipenuhinya ketentuan keterbukaan dalam proses
pemilihan dan penetapan;
c.
Adanya peluang keikutsertaan dalam tahapan
persaingan sehat bagi Penyedia Jasa sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang
disyaratkan.
Keseluruhan pengertian tentang prinsip
persaingan sehat tersebut dalam huruf (a), (b), dan (c) dituangkan dalam
dokumen yang jelas, lengkap dan diketahui dengan baik oleh semua pihak serta
bersifat mengikat.
6.
Pertanggungjawaban
Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa dalam Kontrak Kerja Konstruksi meliputi:
Jenis pertanggungjawaban yang menjadi
kewajiban Penyedia Jasa yang
berkaitan dengan pembayaran uang muka, pelaksanaan pekerjaan, hasil pekerjaan,
tenaga kerja, tuntutan pihak ketiga, tuntutan pihak ketiga dan kegagalan
bangunan.
Pertanggungjawaban
sebagaimana tersebut di atas memuat:
1)
Nilai jaminan;
2)
Jangka waktu pertanggungan;
3)
Prosedur pencairan;
4)
Hak dan kewajiban masing-masing pihak
Dalam hal Penyedia Jasa
tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kontrak kerja konstuksi, Pengguna Jasa
dapat mencairkan selanjutnya menggunakan jaminan dari Penyedia Jasa sebagai
kompensasi pemenuhan kewajiban Penyedia Jasa.
(Pasal
23 ayat (1) huruf c PP No. 29 Tahun 2000)
Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa harus
bertanggung jawab apabila terjadi:
a. Kegagalan Pekerjaan Konstruksi (seperti
disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun 1999) yaitu keadaan hasil
pekerjaan konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan tidak sesuai dengan
spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja kontruksi baik
sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan Pengguna Jasa atau Penyedia
Jasa (Pasal 31 PP No. 29 Tahun 2000);
b. Kegagalan Bangunan yaitu keadaan bangunan tidak
berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat
dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia
Jasa dan/atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi
(Pasal 34 PP No. 29
Tahun 2000)
7.
Wanprestasi
(Breach of Contract) dalam Kontrak
Kerja Konstruksi
Wanprestasi dalam Kontrak Kerja Konstruksi
adalah hal dimana para pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi tidak memenuhi apa
yang menjadi kewajibannya:
a.
Perbuatan Penyedia Jasa dapat dikategorikan
wanprestasi apabila:
1)
Tidak menyelesaikan tugas;
2)
Tidak memenuhi mutu;
3)
Tidak memenuhi kualitas; dan
4)
Tidak menyerahkan hasil pekerjaan
b.
Perbuatan Pengguna Jasa yang meliputi:
1)
Terlambat membayar
2)
Tidak terlambat membayar
3)
Terlambat menyerahkan sarana pelaksanaan
pekerjaan
(Pasal 23 huruf g 1) PP
No. 20 Tahun 2009)
Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa harus
bertanggung jawab apabila terjadi wanprestasi berupa:
a.
Kegagalan Pekerjaan Konstruksi (Pasal 31 PP No.
29 Tahun 2000);
b.
Kegagalan Bangunan (Pasal 34 PP No. 29 Tahun
2000)
8.
Ganti
rugi atas wanprestasi (breach of
contract)
Dalam hal terjadinya wanprestasi (breach of contract) yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa atau Pengguna Jasa yaitu tidak melakukan tanggung jawab yang
tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c PP No. 29 Tahun 2000) maka pihak yang
dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian biaya dan atau
perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi.
(Pasal 23 huruf g 2) Peraturan Pemerintah
(PP) No. 20 Tahun 2009)
B.
Analisis
Teori Keadilan (John Rawls) dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi dan PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Berikut ini analisis
Teori Keadilan (John Rawls) dalam UU No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 29 Tahun 2000.
1.
Analisis
Teori Keadilan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Rawls berintikan
pada “justice as fairness” yang ditandai
dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan hak bagi setiap
orang. Kesetaraan yang dimaksud terejawantahkan dalam Pasal 2 Undang-Undang No.
18 Tahun 1999 dinyatakan bahwa asas yang melandasi pengaturan jasa konstruksi
adalah antara lain asas keadilan dan keseimbangan. Selain itu, dalam Pasal 3 b
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999, dinyatakan bahwa salah satu tujuan pengaturan
jasa konstruksi adalah “untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan
kepada ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Kontrak
baku (standard contract) tersebut
menghilangkan hak dari pihak Penyedia Jasa untuk mengadakan negosiasi pada saat
pembentukan kontrak, sehingga posisi para pihak tidak setara. Pihak Penyedia
Jasa hanya dapat memilih antara dua: menerima atau menolak Kontak Kerja
Konstruksi yang telah dirumuskan oleh Pengguna Jasa terlebih dahulu.
Dalam konteks ini, Teori Keadilan yang
berintikan “justice as fairness” terejawantahkan
dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 18 Tahun 1999, mengenai kesetaraan kedudukan antara
pihak Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Namun dalam kenyataannya, terjadi
kesenjangan antara pengaturan mengenai pembentukan Kontrak Kerja Konstruksi (das sein) dan praktek pembentukan Kontrak
Kerja Konstruksi (das sollen) karena Kontrak Kerja Konstruksi sudah dibentuk
terlebih dahulu oleh Pengguna Jasa, sehingga
tidak mengakomodasi kesetaraan kedudukan tersebut.
2.
Analisis
Teori Keadilan dalam PP No. 29 Tahun 2000 tentang Tanggung Jawab Penyedia Jasa
dan Pengguna Jasa
Tanggung Jawab terdiri atas pemenuhan hak
dan kewajiban yang saling berhimpit
antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Hak Penyedia Jasa adalah kewajiban dari
Pengguna Jasa, demikian pula sebaliknya, hak Pengguna Jasa adalah kewajiban
dari Penyedia Jasa.
Pengaturan yang seimbang antara hak dan
kewajiban dari Pengguna Jasa maupun Penyedia Jasa dicantumkan dalam Kontrak
Kerja Konstruksi. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban diatur dalam Pasal 22
ayat (2) PP No. 20 Tahun 1999 huruf a s.d. huruf l, yang telah dituliskan dalam
Hasil Bedah Peraturan mengenai Kontrak Kerja Konstruksi khususnya tentang Ruang
Lingkup Kontrak Kerja Konstruksi (bagian III angka 4) tersebut di atas.
Hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan Penyedia
Jasa, tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) PP No. 20 Tahun 1999 huruf e dan f
yaitu:
“ e. Hak
dan kewajiban, yang memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan
konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta
hak Penyedia Jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
f.
Cara
pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam
melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi”
Jika hak dan kewajiban tersebut digambarkan
dalam sebuah tabel maka akan terlihat seperti berikut:
Hak Penyedia Jasa/Kewajiban Pengguna Jasa
|
Hak
Pengguna Jasa/Kewajiban Penyedia Jasa
|
·
Hak Penyedia Jasa yaitu memperoleh
pembayaran sebagai imbalan atas hasil pekerjaan konstruksi
·
Kewajiban Pengguna Jasa yaitu memberikan
pembayaran atas hasil pekerjaan konstruksi sesuai dengan kontrak.
|
·
Hak Pengguna Jasa yaitu memperoleh hasil
pekerjaan konstruksi sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan di dalam
kontrak
·
Kewajiban Penyedia Jasa adalah
melaksanakan pekerjaan konstruksi dan memberikan hasil pekerjaan jasa
konstruksi sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan di dalam kontrak.
|
Perbandingan Hak dan
Kewajiban Masing-Masing Pihak
(Penyedia Jasa dan Pengguna
Jasa)
Dari bagan tersebut, terlihat bahwa pengaturan
mengenai hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam huruf e dan f PP No. 29 Tahun 2000 diatur secara seimbang.
Kesetaraan kedudukan jelas terlihat sehingga menurut hemat kami, prinsip
keadilan terejawantahkan dalam pengaturan tersebut.
3.
Penyelesaian
sengketa melalui jalur perdata apabila terjadi wanprestasi (breach of contract)
Menurut Pasal 22 ayat (2) PP No. 20 Tahun
2000 huruf g, wanprestasi atau cidera janji (breach of contract) adalah keadaan dimana salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan.
Keadaan tersebut diuraikan dengan sangat jelas Pasal 23 huruf g 1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2009, dalam Hasil Bedah Peraturan mengenai Kontrak Kerja Konstruksi khususnya tentang Ruang Lingkup Kontrak Kerja Konstruksi (bagian III angka 7) tersebut di atas.
Wanprestasi (breach of contract) terkait dengan kegagalan pekerjaan konstruksi
dan kegagalan bangunan seperti tersebut di bawah ini:
a. Kegagalan Pekerjaan Konstruksi (seperti
disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun 1999) yaitu keadaan hasil
pekerjaan konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan tidak sesuai dengan
spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja kontruksi baik
sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan Pengguna Jasa atau Penyedia
Jasa (Pasal 31 PP No. 29 Tahun 2000);
b. Kegagalan Bangunan yaitu keadaan bangunan tidak
berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat
dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia
Jasa dan/atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi Pasal
34 PP No. 29 Tahun 2000)
4.
Penyelesaian
sengketa melalui jalur perdata apabila terjadi wanprestasi (breach of contract)
Penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 37
s.d 38 UU No. 18 Tahun 1999. Pasal 37 mengatur tentang penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, sedangkan
Pasal 38 mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui gugatan masyarakat.
Menurut hemat kami, yang dimaksud dengan gugatan oleh masyarakat tersebut
adalah gugatan perdata.
Kegagalan Pekerjaan Konstruksi maupun Kegagalan
Bangunan merupakan suatu bentuk wanprestasi karena tidak sesuai dengan spesifikasi
pekerjaan sebagaimana yang dimaksud dalam kontrak. Yang ditekankan dalam
penyelesaian sengketa ini adalah isi kontrak bukan para pihak. Apabila bangunan
tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam Kontrak Kerja Konstruksi,
maka Penyedia Jasa wanprestasi. Apabila pembayaran tidak sesuai dengan jumlah
yang disepakati di dalam Kontrak Kerja Konstruksi, maka Pengguna Jasa (baik
swasta ataupun pemerintah) tersebut wanprestasi.
Dalam penyelesaian Sengketa Kontrak Kerja
Konstruksi dengan pemerintah sebagai Pengguna Jasa (selanjutnya disebut Kontrak
Kerja Konstruksi Pemerintah), seringkali dipermasalahkan mengenai tindakan
hukum pemerintah masuk ke ranah hukum publick atau privat.
Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh
Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom)[9], sebagai
Pengguna Jasa melakukan tindakan hukum Kontrak Kerja Konstruksi. Secara
teoritis, tindakan keperdataan pemerintah tetap merupakan tindakan hukum publik
yang sepihak oleh pemerintah di dalam hukum perdata. Teori melebur menyatakan
bahwa tindakan hukum publik pemerintah di dalam ranah atau bidang privat
merupakan tindakan hukum perdata pemerintah. Tindakan pemerintah merupakan
perbuatan publik (hukum administrasi) namun Perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum perdata (privat). Dalam hal demikian tindakan pemerintah (atau
dalam hal ini keputusan) yang adalah
tindakan publik dianggap melebur ke dalam perbuatan perdata.[10]
Berdasarkan teori melebur tersebut, maka tindakan hukum pemerintah dalam Kontrak
Kerja Konstruksi termasuk dalam ranah hukum privat.
Hal selanjutnya yang sering diperdebatkan
adalah mengenai sumber dana Kontrak Kerja Konstruksi pemerintah adalah sumber
dana. Sumber dana untuk
kontrak konstruksi pemerintah adalah APBN atau APBD yang merupakan belanja operasional K/l/D/I. Ketika
dana APBD atau APBD itu dibelanjakan, maka yang berlaku adalah Hukum Perdata.
Tanggung jawab pembelanjaan itu adalah pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan
itu.
Berkaitan dengan organisasi pengadaan, Kepres
80/2003 belujm mengorganisasikan secara jelas. Hal ini kemudian diperjelas
dalam Perpres[11] 54/2010, yaitu:
a.
PA / KPA
b.
PPK
c.
ULP / Pejabat Pengadaan
d.
Panitia / Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
Dari klasifikasi ini, maka keseluruhan dari organisasi
ini yang membelanjakan barang. Termasuk membuat perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan merupakan satu kesatuan. Hanya saja, ketika dalam taraf pelaksanaan,
bisa saja “membelanjakan” Penyedia Jasa konstruksi/barang/jasa. Status uang
negara berakhir ketika melakukan belanja. Jika Penyedia Jasa tidak melakukan
pekerjaan sesuai dengan kontrak atau wanprestasi, maka penyelesaian berdasarkan
kontrak; atau bisa dilanjutkan melalui jalur perdata.
C.
Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Teori Keadilan yang berintikan “justice as fairness” terejawantahkan
dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 18 Tahun 1999, mengenai kesetaraan kedudukan antara
pihak Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Dalam kenyataannya, terjadi kesenjangan
antara pengaturan mengenai pembentukan Kontrak Kerja Konstruksi (das sein) dan praktek pembentukan
Kontrak Kerja Konstruksi (das sollen)
karena Kontrak Kerja Konstruksi sudah
dibentuk terlebih dahulu oleh Pengguna Jasa dalam bentuk kontrak standard (standard contract), sehingga tidak mengakomodasi kesetaraan kedudukan
tersebut.
2.
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa dalam huruf e dan f
PP No. 29 Tahun 2000 diatur secara seimbang. Kesetaraan kedudukan jelas
terlihat sehingga prinsip keadilan terejawantahkan dalam pengaturan tersebut.
3.
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdata
apabila terjadi wanprestasi (breach of
contract), diatur dalam Pasal 22 ayat (2) PP No. 20 Tahun 2000 huruf g dan
Pasal 23 huruf g 1) PPNo. 20 Tahun 2009. Penyelesaian
sengketa melalui jalur perdata apabila terjadi wanprestasi (breach of contract) diatur Pasal 38 UU
No. 18 Tahun 1999 yaitu melalui gugatan masyarakat yaitu gugatan perdata.
4.
Penyelesaian Sengketa Kontrak Kerja Konstruksi
Pemerintah, berdasarkan teori melebur
merupakan tindakan hukum perdata pemerintah. Status uang negara
berakhir ketika melakukan belanja. Jika Penyedia Jasa tidak melakukan pekerjaan
sesuai dengan kontrak atau wanprestasi, maka penyelesaian berdasarkan kontrak;
atau bisa dilanjutkan melalui jalur perdata.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Rawls, John.
A
Theory of Justice: Teori Keadilan.
2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hernoko,
Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial.
2008. Yogyakarta: Laksbang Mediatama
Salim
H. S.. Hukum Kontrak: Teori dan Praktek. 2005. Jakarta: Sinar
Grafika
Muhammad,
Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia.
2010. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
MAKALAH SEMINAR/BAHAN KULIAH
Darumurti, Krisna Djaya. Materi Kuliah Hukum Jasa
Konstruksi MIH UKSW. 2011
Pramono,
Nindyo. Status Hukum Kontrak Kerja Konstruksi: Kriminalisasi vs Kesucian
Kontrak. Seminar Nasional
2010. Salatiga: UKSW
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No.
18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
PP Undang-Undang No.
29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Perpres
No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
WEBSITE
http://www.khalidmustafa.info, Matriks
Perbedaan Antara Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 dengan Keputusan Presiden
No. 80 Tahun 2003.
[1] Konsiderans Perpres No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
[2] John Rawls, A Theory of Justice: Teori Keadilan, 2006, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hal. 19
[3] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, 2008, Yogyakarta: Laksbang
Mediatama, hal. 21
[4] Loc.
cit.
[5] Loc.cit.
[6] Nindyo Pramono, Status Hukum Kontrak Kerja
Konstruksi: Kriminalisasi vs Kesucian Kontrak, Seminar Nasional 2010, Salatiga: UKSW
[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum
Perusahaan Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bhakti), 2010, hal. 598
[8]Ibid.
[9] PPKom adalah pejabat yang bertanggung
jawab atas pengadaan barang dan jasa
[10] Krisna Djaya Darumurti, Materi Kuliah Hukum Jasa Konstruksi MIH UKSW,
2011
[11] http://www.khalidmustafa.info,
Matriks Perbedaan Antara Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2010 dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar