Blog ini berlanjut ke https://mariskemyeketampi.wordpress.com/
Silakan mengunjungi dan membaca posting selanjutnya.
ONLY HOPE
"Hope: The anchor of the soul, firm and secure..."
Rabu, 22 Juni 2016
Jumat, 21 Oktober 2011
Kamis, 20 Oktober 2011
Show Your True Colors
What is your true color?
Whatever it is, just show it!
You with the sad eyes
Don't be discouraged
Oh I realize
It's hard to take courage
In a world full of people
You can lose sight of it all
And the darkness, inside you
Can make you feel so small
But I see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you
So don't be afraid to let them show
Your true colors
True colors are beautiful,
Like a rainbow
Show me a smile then,
Don't be unhappy, can't remember
When I last saw you laughing
If this world makes you crazy
And you've taken all you can bear
You call me up
Because you know I'll be there
And I'll see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you
So don't be afraid to let them show
Your true colors
True colors are beautiful,
Like a rainbow
Don't be discouraged
Oh I realize
It's hard to take courage
In a world full of people
You can lose sight of it all
And the darkness, inside you
Can make you feel so small
But I see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you
So don't be afraid to let them show
Your true colors
True colors are beautiful,
Like a rainbow
Show me a smile then,
Don't be unhappy, can't remember
When I last saw you laughing
If this world makes you crazy
And you've taken all you can bear
You call me up
Because you know I'll be there
And I'll see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you
So don't be afraid to let them show
Your true colors
True colors are beautiful,
Like a rainbow
"True Colors" (Phill Collins)
Rabu, 19 Oktober 2011
We Are Like Pencils
An artist was looking at his pencil
and began speaking to the pencil,
"There are five capabilities
you need to realize about yourself.
After this, you will know that you can be
the best pencil ever:
"You are capable in doing many things,
but you must let yourself
be managed by someone's hand..."
"You're way won't always be smooth,
at times you will be sharpened painfully
for you to create better writing and drawing..."
"If you make any mistakes, don't worry
because you're capable of
correcting your own mistakes.
"What's important is the quality inside of you..."
"Whatever happens, never quit!
Keep on writing and continue drawing.
You must always leave a clear mark
no matter how difficult the situation..."
The pencil listened attentively and promised
to do what it was told...
All it wanted was to make an artist
proud of it...
Now imagine us in the position of the pencil.
If we want to be a person with quality,
we must remember these:
We will be able to do many wonderful things in our lives,
but only if we allow ourselves
to be held in God's hand
as well as sharing the many gifts
you have with others.
You will experience many rough roads in your life
but you must be strong...
That's the only way you will be strong.
What's important is what people see inside you,
not the out side.
Whereever you walk,
make sure you leave your mark.
Whatever the condition,
continue to serve God in all you can.
You must not worry about making mistakes,
learn from them and in time
you will be able to correct and avoid it.
Everyone of us is like a pencil...
created uniquely
and for special reason by the might Maker.
We need to understand those reasons
so our lives on earth
will be a meaningful one,
while having a close relationship
with God in our heart
Jumat, 14 Oktober 2011
Senin, 10 Oktober 2011
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Korporasi sebagai badan hukum
(rechtpersoon) tidak bisa dikenai
tanggung jawab sama persis seperti orang pribadi (natuurlijkpersoon).
Menurut Andi Amir Hamzah
sehubungan dengan hal tersebut menyatakan dalam sistem hukum Inggris, korporasi
bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan
delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Delik-delik yang tidak dapat
dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik[1]:
1. Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya
bisa dikenakan pada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, manslaughter);
2. Yang hanya bisa dilakukan oleh orang
biasa, misalnya bigamy, perkosaan.
Menurut Andi Hamzah
sehubungan dengan hal tersebut menyatakan, patut pula diingat bahwa korporasi
itu tidak mungkin dipidana, karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh
korporasi, delik itu harus ada ancaman pidana alternatif dendanya. Apabila
korporasi dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh rumusan delik di dalam KUH
harus ada pidana alternatif denda sebagaimana hanya dengan W.v.S Belanda
sekarang ini[2].
Berdasarkan hal tersebut,
Prof Dr. Muladi, SH., dan Prof Dr. Dwidja Priyatno, SH., MH., berpendapat bahwa
korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik seperti
di negeri Belanda, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat
personal yang menurut kodratnya dalam dilakukan oleh manusia, maka tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi[3].
PENUNTUTAN
DAN PEMIDANAAN KORPORASI
Penuntutan dan pemidanaan korporasi mempunyai financial impact dan non-financial impact. Financial impact berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh korban akibat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan non-financial impact berkaitan dengan kerugian immaterial yang diderita oleh korban. Oleh karena itu, menurut Prof. Muladi, bilamana tindak pidana yang dilakukan sangat berat, maka di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi.[4]
Clinard and Yeager
mengemukakan kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan kepada
korporasi. Apabila kriteria tersebut tidak ada, maka sanksi perdatalah yang
digunakan. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:[5]
1. The
degree of loss to the public;
2. The
lever of complicity by high corporate managers;
3. The
duration of violation;
4. The
frequency of the violation by the corporation;
5. Evidence
of intent to violate;
6. Evidence
of extortion; as in bribery cases;
7. The
degree of notoriety engendered by the media
8. Presedent
in law;
9. The
history of serious violation the corporation;
10. Detererrence
potential;
11. The
4 degree of cooperation evinced by the corporation.
Tuntutan dan pemidanaan
didasarkan kepada atau tujuan mengandung tujuan pemidanaan, baik yang bersifat
preventif dan tindakan represif. Apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan
Konsep Rancangan KUHP Baru 2005 adalah “mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat” (Pasal 54 ayat (1)
sub a), serta tujuan pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidan, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat (Pasal 54 ayat (1) sub c).
Selanjutnya mengingat bahwa
sebagian besar dari bentuk kejahatan korporasi berada dalam ruang lingkup administrative penal law, maka ada
kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan asas subsidiaritas, yaitu hukum
pidana sebagai ultimum remedium dan
sanksi administrative dan perdata yang banyak diterapkan.
Saya tidak sependapat
dengan Prof. Muladi bahwa hukum pidana dalam pemidanaan korporasi harus
didudukkan sebagai primum remedium[6].
Hukum pidana tetap harus didudukkan sebagai ultimum
remedium, yaitu sebagai “senjata pamungkas” apabila sanksi administratif
maupun perdata, tidak membuat korporasi tersebut menjadi jera.
STELSEL
PIDANA YANG DAPAT DIJATUHKAN KEPADA KORPORASI
Stelsel pidana dalam KUHP
terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari:
1.
Pidana
Pokok;
a)
Pidana
mati;
b)
Pidana
penjara;
c)
Pidana
kurungan;
d)
Pidana
denda
2.
Pidana
Tambahan
a)
Pencabutan
hak-hak tertentu;
b)
Perampasan
barang-barang tertentu;
c)
Pengumuman
putusan hakim.
Sehubungan dengan masalah
stelsel pidana, pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi?
Berkaitan dengan pertanyaan
tersebut, Sudarto menyatakan:
“Sehubungan
dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka dalam sistem
hukum pidana Inggris, korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara
teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi tidak ada
pembatasannya. Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah
delik-delik:
a. Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya
bisa dikenakan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, menslaughter)
b. Yang bisa dilakukan oleh orang biasa,
misalnya bigami, perkosaan.”
Sehubungan
dengan apa yang disebut di atas, maka korporasi yang melakukan tindak pidana
tersedia pidana pokok denda dan pidana tambahan dan sejumlah tindakan.
Sedangkan Barda Nawawi Arief
menyatakan, walaupun korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi,
namun ada beberapa pengecualian, yaitu[7]:
1. Dalam perkara-perkara yang menurut
kodratnya tidak dapat dilakukan kepada korporasi, misalnya bigami, perkosaan,
sumpah palsu;
2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat
dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.
Sedangkan
Suprapto menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah:
1. Penutupan seluruhnya atau sebagian
perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;
2. Pencabutan seluruh atau sebagian
fasiliteit tertentu yang telah atau dapat diperolehnya dari pemerintah oleh
perusahaan selama waktu tertentu;
3. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan
selama waktu tertentu
JENIS-JENIS
SANKSI (PIDANA) YANG DAPAT DIJATUHKAN TERHADAP KORPORASI DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA[8]
1. Undang-Undang
Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
a.
Sanksi
pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindakan
ekonomi yang dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (Pasal 7 ayat (1)
sub b);
b.
Perampasan
barang-barang tetap tak berwujud atau berwujud termasuk perusahaan si terhukum
yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. sub d);
c.
Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh
pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk selama-lamanya 1 (satu)
tahun (Pasal 7 ayat (1));
d.
Pengumuman
putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f);
e.
Tindakan
tata tertib seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan,
mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah unag sebagai
pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak,
meniadakan apa yang telah dilakukan, tanpa hak, melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat satu sama lain, se mua atas biaya si terhukum, sekadar hakim
tidak menentkan lain (Pasal 8 sub a, b, c); dan
f.
Pidana
denda, sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib
dalam Pasal 8 harus bersama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat
dapat dijatuhakn terhadap korporasi adalah pidana denda.
Sebagai catatan system
penjatuhan pidana yang dianut dalam UUTPE adalah system dua jalur (double track
system) artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatukan secara
bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.
2. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos
a.
Pidana
denda;
b.
Tindakan
tata tertib (Pasal 19 ayat (3) jo. Pasal 19 ayat (1) dan (2).
Dalam UU Pos juga dianut stelsel pidana
“system dua jalur”
3. Undang-Undang
No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
a.
Pidana
denda (Pasal 20 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1); dan
b.
Pidana
tambahan berupa pencabutan izin usaha ketenagalistrikan (Pasal 20 ayat (3) dan
Pasal 22 ayat (2)).
4. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
a.
Menurut
Pasal 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 59 hanya
dikenakan denda Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah);
b.
Menurut
Pasal 70, Korporasi yang melakukan tindak pidana Pasal 60 sampai dengan Pasal
64 dikenakan:
(1)
Pidana
denda sebesar dua kali yang diancamkan; dan
(2)
Dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha,
5. Undang-Undang
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Pidana denda diperberat (ayat (4) Pasal 78 s.d Pasal 82)
Pidana denda diperberat (ayat (4) Pasal 78 s.d Pasal 82)
6. Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.
Pidana
pokok berupa pidana denda diperberat dnegan sepertiga (Pasal 45); dan/atau
Tindakan tata tertib (Pasal 47) berupa:
Tindakan tata tertib (Pasal 47) berupa:
(1)
Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2)
Penutupan
perushaaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau
(3)
Perbaikan
akibat tindak pidana;
(4)
Mewajibkan
mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(5)
Meniadakan
apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(6)
Menempatkan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
7. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
a.
Untuk
korporasi dapat dijatuhkan pidanan denda (Pasal 48). Disamping itu dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
(1) Pencabutan izin usaha; atau
(2) Larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun;
(3) Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada pihak lain (Pasal 49)
Khusus untuk “tindakan
administratif” dalam Pasal 47 ayat (2) terdapat kejanggalan kebijakan legislasi
dalam merumuskan tindakan administratif berupa:
(1) Penetapan pembatalan perjanjian;
(2) Perintah menghentikan integrasi vertical;
(3) Perintah menghentikan kegiatan yang
menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidka sehat atau merugikan
masyarakat;
(4) Perintah menghentikan penyalahgunaan
posisi dominan;
(5) Penetapan pembatalan atas
penggabungan/peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham;
(6) Penetapan ganti rugi; dan/atau
(7) Pengenaan denda minimal Rp.
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp. 25.000.000.000,- (dua
puluh lima miliar Rupiah)
8. Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a.
Pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha adalah pidana denda (Pasal 62)
b.
Pidana
tambahan berupa:
(1) Perampasan barang tertentu;
(2) Pengumuman keputusan hakim;
(3) Pembayaran ganti rugi;
(4) Perintah penghentian kegiatan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
(5) Kewajiban penarikan barang dari
peredaran;
(6) Pencabutan izin usaha (Pasal 63)
9. Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
TIndak Pidana Korupsi
Pidana pokok yang dapat
dijatukan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya
ditambah/diperberat 1/3 (satu pertiga) (Pasal 20 ayat (7)).
10. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Sanksi yang dapat dijatuhkan
terhadap badan usaha/badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paking
tinggi pidana denda ditambah sepertiganya (Pasal 56 ayat (2)). Dalam UU
tersebut pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam
puluh milyar rupiah) (Pasal 52, 54 dan 54).
11. Undang-Undang
No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
Pidana yang dapat dijatuhkan
dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
Pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan
likuidasi (Pasal 5 ayat (2)).
Dari pengaturan sanksi
terhadap korporasi yang melakukan kejahatan seperti tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa stelsel pidana yang
diterapkan terhadap korporasi adalah sebagai berikut:
1.
Pidana
denda
2.
Sanksi
perdata yaitu ganti kerugian
3.
Pidana
tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan
administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu
yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[9] berupa
penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib
4.
Pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim.
Prof. Muladi pernah
mengadakan penelitian empiris terhadap 60 responden mengenai urutan sanksi
pidana yang paling tepat dijatuhkan terhadap korporasi. Hasilnya:
1.
Pidana
tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan
administratif[10]
berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau
dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[11] berupa
penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib (dipilih oleh 45
responden atau 72,58%)
2.
Pidana
denda (dipilih oleh 33 responden atau 51,61%)
3.
Sanksi
perdata yaitu ganti kerugian[12]
(dipilih oleh 32 responden atau 51,61%)
4.
Pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim, sebanyak 20 orang atau 32,26%.
Dengan demikian, pidana
penjara maupun kurungan tidak lazim untuk korporasi, meskipun menurut teori organ,
pengurus korporasi dalam hal ini Direksi merupakan pengejawantahan dari organ
tersebut.
[3]
Ibid., hal. 98
[4]
Ibid. hal. 144
[5]
Loc.cit
[6]
Ibid., hal 150
[7]
Muladi, et al., Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, (Jakarta:Prenada Media Group), 2010, hal. 96
[8]
Ibid., hal. 159-168
[9]
Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak
Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan
tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.
[10]
Tindakan administratif dan 12 sanksi
perdata yaitu ganti kerugian sebenarnya tidak termasuk dalam stelsel pidana
seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi sanksi tersebut menurut Prof
Mulasi perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pemidanaan (dalam arti
luas) termasuk tindakan terhadap korporasi. Sebagaimana catatan dalam Konsep
Rancangan KUHP 2005 terdapat pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian
semacam sanksi perdata tentang ganti kerugian (Pasal 67 ayat (1) huruf d. Lihat
Ibid.hal 158.
[11]
Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak
Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan
tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.
ANALISIS PUTUSAN KPPU NO. 09/KPPU-L/2009
Latar
Belakang
Penggabungan (merger), Peleburan (konsolidasi)
dan Pengambilalihan (akuisisi) adalah
hal yang lazim dilakukan dalam lingkup bisnis. Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
seringkali menjadi jalan keluar bagi suatu perusahaan yang sedang mengalami
kesulitan keuangan untuk kembali bisa melakukan aktivitas bisnis, thus menjadi
bagi perusahaan-perusahaan besar untuk melebarkan ekspansi bisnisnya ke ranah
yang lebih luas.
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
sejatinya merupakan tindakan yang sah, sepanjang tindakan tersebut tidak
berdampak negatif bagi persaingan. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
5/1999, pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha
dan melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Secara
konseptual, merger, konsolidasi dan akuisisi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Merger
Merger berasal dari akar kata
kerja ‘to merge’. Secara lebih luas,
ia dipahami sebagai proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu
perusahaan. Menurut Meiners, merger adalah “a
contractual process through which one corporation acquires the assets and
liabilities of another corporation. The acquiring or surviving, corporation
retains its original identity.[1]” Merger seringkali digambarkan dengan simbol ini[2]:
Ada beberapa jenis merger, antara
lain:
(1)
Merger horizontal (horizontal
merger). Merger yang dilakukan antara perusahaan-perusahaan yang sebelumnya
merupakan pesaing dalam suatu usaha[3].
(2)
Merger vertikal (vertical
merger). Merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang salah
satunya merupakan perusahaan supplier
bagi yang lain. Dengan kata lain, merger vertikal adalah merger di antara
perusahaan-perusahaan yang berada dalam hubungan pembeli-penjual (buyer-seller relationship). Merger yang
terjadi antara suatu manufacturer
dengan distributor suatu produk adalah contoh dari jenis merger ini, karena manufacturer dengan distributor suatu
produk adalah contoh dari jenis merger ini, karena manufacturer merupakan supplier
bagi distributor[4]. Merger
vertikal ini juga bisa dibedakan menjadi dua, yaitu merger vertical maju (forward vertical merger) dan merger
vertical mundur (backward vertical merger).
Forward vertical merger dikatakan
terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan lain yang
merupakan distributornya. Backward
vertical merger terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan
perusahaan lain yang menjadi supplier-nya.
(3)
Merger Persaingan Potensial (Potential Competition Merger). Merger yang terjadi apabila suatu
perusahaan yang bermaksud memasuki pasar dalam suatu industri dibeli oleh dan
digabungkan dengan perusahaan yang sudah eksis di pasar itu, yang akan
tersaingi jika ada perusahaan baru masuk dalam pasar industri itu. Hasil dari potential competition merger ini adalah
bahwa calon pesaing yang akan hadir di suatu pasar akan menjadi lenyap.
Konsolidasi
Konsolidasi (peleburan) adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status
badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum[5].
Konsolidasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari simbolisasi di atas,
tergambar bahwa setelah konsolidasi, hanya ada satu entitas hukum yang baru
sebagai peleburan dari beberapa entitas hukum lama.
Akuisisi
Akuisisi (pengambilalihan) adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk
pengambilalihan saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
perseroan terbatas tersebut[6].
Secara konseptual, akuisisi Perseroan digambarkan sebagai berikut:
Dari simbolisasi di atas,
tergambar bahwa setelah proses akuisisi, tidak ada perubahan eksistensi dari
entitas hukum. Sebelum proses akuisisi dan sesudah proses akuisisi, entitas
hukum Perseroan masih tetap. Tidak ada entitas hukum yang berakhir demi hukum
setelah proses pengambilalihan. Yang berubah sejatinya hanya posisi pemegang
saham mayoritas yang kemudian menjadi pemegang saham minoritas[7].
Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia
Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan diatur dalam Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat
(1), dan ketentuan pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah sebagai
Peraturan Pelaksana Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1999 adalah Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha
dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha TIdak Sehat (PP 57/2010).
Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 57/2010, “Pelaku Usaha dilarang melakukan
Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham
perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau
Persaingan Usaha Tidak Sehat.”
Dari bunyi pengaturan tersebut, kita mengetahui bahwa perbuatan hukum
Penggabungan (Merger), Peleburan (Konsolidasi) dan Akuisisi (Pengambilalihan),
bukanlah perbuatan hukum yang dilarang. Tetapi jika perbuatan hukum tersebut
mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak
Sehat, itulah yang tidak dikehendaki. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa sisi
akibat yang menjadi fokus utama, yang mengakibatkan perbuatan hukum
penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan akuisisi (pengambilalihan)
dikategorikan “dilarang” atau “tidak dilarang”.
Pada 18 Oktober 2010,
dikeluarkan Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (Peraturan KPPU 13/2010).
Pedoman ini menjelaskan
mengenai: (1) penggabungan, peleburan atau pengambilalihan seperti apa yang
dapat dinotifikasikan kepada Komisi; (2) prosedur pemberitahuan penggabungan,
peleburan, atau pengambilalihan; dan (3) aspek-aspek yang akan dinilai oleh
Komisi dalam memberikan pendapatnya serta prosedur konsultasi rencana
penggabungan, peleburan atau pengambilalihan oleh pelaku usaha terhadap Komisi[8].
Dalam Peraturan KPPU
13/2010 yang dimaksud dengan[9]:
Penggabungan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Peleburan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua badan usaha atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu badan usaha baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari badan usaha yang meleburkan diri dan status
badan usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Pengambilalihan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambilalih saham
badan usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha
tersebut.
Menurut KPPU, merger[10] secara
sederhana adalah tindakan pelaku yang mengakibatkan:
1.
Terciptanya konsentrasi kendali dari beberapa pelaku
usaha yang sebelumnya independen kepada satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha; atau
2.
Beralihnya suatu kendali dari satu pelaku usaha kepada
pelaku usaha lainnya yang sebelumnya masing-masing independen sehingga
menciptakan konsentrasi pengendalian atau konsentrasi pasar.
Pengawasan
Merger
Pra Notifikasi adalah
pemberitahuan resmi yang wajib disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi,
apabila Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang dilakukan mengakibatkan nilai aset atau nilai penjualannya
melebihi jumlah nilai yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
KPPU melakukan
pengawasan merger dalam bentuk:
1.
Pemberitahuan merger (pra notifikasi)
2.
Konsultasi merger
Pemberitahuan
Merger (pra-notifikasi)
Pra Notifikasi adalah
pemberitahuan resmi yang wajib disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi,
apabila Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang dilakukan mengakibatkan nilai aset atau nilai penjualannya
melebihi jumlah nilai yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Sesuai Pasal 29 UU
5/1999 dan Pasal 5 PP 27/2010, pemberitahuan merger kepada KPPU wajib dilakukan
paling lama 30 hari sejak tanggal merger berlaku efektif secara yuridis. Itu
artinya, setelah pelaku usaha melakukan penggabungan, peleburan atau pengambilalihan
saham, maka perusahaan hasil merger melakukan pemberitahuan kepada KPPU.
Konsultasi
Merger
Konsultasi adalah
permohonan saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis yang diajukan oleh
Pelaku Usaha kepada Komisi atas rencana Penggabungan atau Peleburan Badan
Usaha, dan Pengambilalihan Saham Perusahaan sebelum Penggabungan atau Peleburan
Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan berlaku efektif secara
yuridis.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 10 PP 57/2010, KPPU memberi kesempatan kepada pelaku usaha untuk
melakukan konsultasi kepada KPPU secara sukarela (lisan maupun tulisan) sebelum
melakukan merger guna meminimalkan resiko kerugian yang mungkin diderita oleh
pelaku usaha jika mergernya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, karena di kemudian hari akan dibatalkan oleh KPPU.
Penilaian
Merger
Pasal 28 UU 5/1999
menyatakan bahwa merger dilarang apabila mengakibatkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Itu terjadi jika setelah merger pelaku usaha
dapat diduga melakukan perjanjian yang dilarang, dan/atau penyalahgunaan posisi
dominan.
Untuk menilai apakah
merger dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
KPPU akan melakukan penilaian terhadap pemberitahuan maupun konsultasi merger
berdasarkan analisis:
1.
Konsentrasi pasar;
2.
Hambatan masuk pasar
3.
Potensi perilaku anti persaingan
4.
Efisiensi; dan/atau
5.
Kepailitan
KASUS
AKUISISI YANG DITANGANI KPPU
Pada 21 Januari 2008, nota
kesepahaman (MoU) antara PT. Carrefour Indonesia (Carrefour), PT. Sigmantara
Alfindo Prime Horizon Pte.Ltd untuk membeli 75 persen saham PT. Alfa Retailindo
(Alfa) ditandatangani di Jakarta. Nota kesepahaman itu kemudian ditindaklanjuti
dengan penandatangan perjanjian jual beli saham antara Carrefour dan Alfa pada
21 Januari 2008.
Setelah diakuisisi Carrefour,
dari 30 gerai ex-Alfa, 14 ganti nama jadi Carrefour Express, dan 16 jadi Carrefour.
Dengan demikian, pasca mengakuisisi Alfa, Carrefour beroperasi di dua format:
hypermarket dan supermarket.
Carrefour dan ritel modern
lainnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memasok barang dari pemasok dan
menjualnya kepada konsumen. Keberadaan format ritel modern menawarkan produk
yang murah thus memberi kemudahan dan
kenyamanan bagi konsumen. Namun fitur layanan pro konsumen dan harga murah
dilakukan dengan mengeksploitasi rabat yang dimintakan kepada pemasok barang.
Oleh Carrefour, rabat yang
dipersyaratkan untuk produk tertentu awalnya sebesar 20% dari harga jualnya ke
Carrefour. Besaran rabat ini kemudian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Bahkan ada di antara pemasok yang diminta rabat oleh Carrefour sampai dengan
70% dari harga pasokannya. Selain itu pemasok juga mendapatkan perlakuan
abusive dari Carrefour berupa pengenaan biaya promosi yang sangat tinggi.
Seluruh ketentuan kerjasama tersebut dituangkan Carrefour dalam dokumen trading
terms.
Terkait dengan tindakan itu, oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Carrefour diperintahkan untuk melepas
seluruh kepemilikannya di Alfa melalui Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009 tanggal 3 November 2009.
Paper ini akan menganalisis
pertimbangan hukum yang dipakai KPPU dalam memutus kasus akuisisi Carrefour
atas Alfa. Sengketa ini menarik. Meskipun Carrefour tidak terbukti melanggar Pasal
28 ayat (2) UU 5/1999 yang substansi normanya mengatur tentang tindakan
akuisisi yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat, namun KPPU tetap menjatuhkan sanksi administratif berupa perintah
bagi Carrefour untuk melepas seluruh kepemilikannya di Alfa.
Analisis
Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009
Dalam putusan ini,
sepertinya majelis hakim menjatuhkan sanksi memerintahkan Carrefour untuk
membatalkan akuisisi terhadap Alfa berdasarkan suatu penilaian bahwa setelah
melakukan akuisisi, Carrefour terbukti menyalahgunakan market power yang
dimilikinya sehingga melanggar ketentuan tentang penguasaan produksi dan/atau
pemasaran barang/jasa yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999.
Pada dasarnya, analisis
dampak bagi praktek akuisisi bertolak dari definisi praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UU
Persaingan Usaha[11].
Di satu sisi, kejelasan normatif bagi kajian terhadap akuisisi adalah analisis
dampak adanya praktek monopoli dengan menggunakan indikator pemusatan kekuatan
ekonomi. Pemusatan ekonomi merujuk pada kekuatan pasar bagi pelaku usaha yang
melakukan akuisis baik sebelum dan sesudah akuisisi. Dalam Pasal 1 angka 3 UU
Persaingan Usaha, pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas
suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa[12].
Apakah dalam memutus
kasus ini KPPU menerapkan analisis seperti itu?
Dalam kasus ini, KPPU
menilai Carrefour terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU
5/1999 tentang penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Untuk dapat dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat (1) maka perlu memenuhi unsur:
(1) pelaku usaha; (2) menguasai pasar; (3) pelaku usaha tersebut menerapkan
sebuah kebijakan usaha; dan (4) kebijakan usaha tersebut dapat menimbulkan
dampak negatif berupa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Berikut ini adalah temuan-temuan
KPPU terkait terpenuhi-tidaknya keempat unsur Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999:
Unsur
Pelaku Usaha
Carrefour adalah badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia serta melakukan kegiatan
usaha di bidang perekonomian, dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.
Unsur
Menguasai Pasar
Menurut Pasal 17 ayat
(2) UU 5/1999, pelaku usaha dianggap menguasai pasar jika produk barang/jasa
yang diproduksi dan/atau dipasarkan belum ada substitusinya atau mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama atau pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Menurut pertimbangan
KPPU, Carrefour memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen pada pangsa pasar
bersangkutan hulu (upstream). Dalam pasar bersangkutan, jumlah pelaku usaha
diukur dari adanya peningkatan jumlah pelaku usaha di pasar bukan dari
peningkatan jumlah output produksi (6.3.8.9). Pasar bersangkutan hulu adalah
pasar yang menunjukkan relasi antara pemasok barang/jasa dan Carrefour yang
berbeda dengan pasar hilir (downstream) yaitu pasar yang menunjukkan relasi
antara Carrefour dan konsumen.
Kondisi persaingan juga
dapat diukur dari tingkat konsentrasi dan kecenderungan yang ditunjukkan
menggunakan indikator nilai HHI dan CR4. Tingkat konsentrasi tinggi dan
cenderung meningkat menunjukkan bahwa kondisi pasar bersangkutan didominasi
oleh beberapa pelaku usaha tertentu (6.3.8.10.). KPPU menilai bahwa kondisi
pasar bersangkutan upstream sangat terkonsetrasi dengan kecenderungan yang
terus meningkat, dimana Carrefour menjadi pelaku usaha dominan di dalamnya
(5.46). Sebelum akuisisi pada 2007, tingkat HHI industri mencapai angka 2950,09
dengan nilai CR4 mencapai 93,36 persen yang menandakan konsentrasi yang sangat
tinggi dari suatu industri. Setelah akuisisi angka tersebut semakin meningkat
(6.3.8.12)
Nilai HHI dan CR4
tersebut yang menandakan adanya kekuatan pasar yang dimiliki Carrefour serta
kondisi struktur industri yang kurang mendukung terciptanya pesaingan sehat
belum dapat dijadikan alasan untuk menyatakan Carrefour yang memiliki market
power tersebut melakukan pelanggaran. Market power yang dimiliki Carrefour
dinyatakan melanggar hukum persaingan usaha apabila market power tersebut
secara unilateral digunakan untuk mengeksploitasi suprplus konsumen dan/atau
mencegah pelaku usaha bersaing untuk masuk ke pasar atau bersaing secara
efektif (6.3.8.13.). KPPU merujuk temuan beberapa perilaku unilateral dari
Carrefour sebagai upaya untuk mengeksploitasi surplus dari para pemasoknya
(6.3.8.14).
KPPU juga menunjukkan
temuan adanya tindakan pararel yang dilakukan oleh Carrefour pada pasar
bersangkutan yang terjadi pada kondisi tingkat konsentrasi yang cenderung
meningkat serta adanya entry barrier sehingga menjadikan kondisi merugikan
konsumen yang berpotensi tetap akan terjadi dalam jangka panjang (6.3.8.17).
Dengan demikian, KPPU menyimpulkan bahwa dampak syarat perdagangan (trading
terms) yang diterapkan Carrefour terhadap pemasok menimbulkan persaingan yang
tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing.
Unsur
menerapkan kebijakan usaha
Menurut KPPU, dengan
melakukan akuisisi terhadap Alfa, Carrefour telah menerapkan sebuah kebijakan
usaha.
Unsur
dampak negatif dari kebijakan usaha
KPPU sependapat dengan
penilaian tim pemeriksa yang menunjukkan adanya tindakan-tindakan Carrefour
yang mengeksploitasi surplus dari pemasok dengan menyalahgunakan penguasaan 57,99 persen pangsa pasar
bersangkutan upstream setelah mengakuisisi Alfa, antara lain
(6.3.8.14): (1) menerapkan besaran trading terms kepada para pemasok Alfa,
sehingga pasca akuisisi, trading term antara pelaku bisnis, pemasok dan peretail
cenderung naik dari tahun ke tahun tanpa justifikasi yang jelas; (2) memaksakan
pemasok Carrefour untuk juga memasok pada Alfa (Tying in).
Dengan tindakan-tindakan itu,
Carrefour dinilai telah melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya
persaingan efektif dalam pasar yang bersangkutan, sehingga kondisi tersebut
menyebabkan konsumen tidak dapat menghindari penyalahgunaan kekuatan pasar oleh
Carrefour sehingga dalam jangka waktu pendek konsumen bisa kehilangan pilihan
(6.3.8.16), dan tindakan yang dilakukan tersebut menunjukkan tren yang terus
meningkat sehingga menjadikan kondisi merugikan konsumen tersebut berpotensi
tetap terjadi dalam jangka panjang. (6.3.8.17)
Oleh karena itu KPPU menilai
bahwa terdapat dampak negatif pada persaingan sebagai akibat akuisisi yang
dilakukan Carrefour terhadap Alfa.
CATATAN
AKHIR
1.
Menurut KPPU, merger yang menciptakan konsentrasi pasar
tinggi berpotensi mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat bergantung pada analisis lainnya pada pasar bersangkutan berdasarkan
Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999, sehingga walaupun Pasal 28 UU 5/1999 dianulir,
sebagai lembaga yang berwenang menciptaan persaingan usaha yang sehat maka
putusan pembatalan akuisisi dapat diterapkan dalam kasus ini;
2.
Menurut KPPU, akuisisi dilarang apabila mengakibatkan
terjadinya pemusatan ekonomi pada bidang produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa. Pemusatan kekuatan ekonomi mengacu pada Pasal 1 angka 3 UU
5/1999 “penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau
lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.”
BAHAN
BACAAN
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Salatiga: Griya
Media.
Yakub Adi Krisanto, "Analisis Akuisis Alfa
Supermarket oleh Carrefour" dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Salatiga,
Widya Sari Press, 2008
Daftar Peraturan
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
Lampiran Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010,
[1] Arie
Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 32
[2] Tri
Budiyono, Hukum Perusahaan, Salatiga: Griya Media, hal. 204
[3] Arie
Siswanto, Op. cit., hal. 34
[4] Ibid.,
hal. 34
[5] Pasal 1
angka 10 UU No. 40 Tahun 2007
[6] Pasal 1
angka 11 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[7] Tri
Budiyono, Op. Cit., hal. 217.
[8] Lampiran
Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010, hal. 1.
[9] Ibid,
hal. 4.
[10] KPPU
hanya menggunakan istilah merger untuk menunjuk tindakan-tindakan mencakup
konsolidasi, akuisisi, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Lihat:
Ibid, hal. 5.
[11] Yakub
Adi Krisanto, "Analisis Akuisis Alfa Supermarket oleh Carrefour"
dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Salatiga, Widya Sari Press, 2008, hal.
37.
[12] Ibid,
hal. 38.
Langganan:
Postingan (Atom)