Senin, 10 Oktober 2011

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI


Korporasi sebagai badan hukum (rechtpersoon) tidak bisa dikenai tanggung jawab sama persis seperti orang pribadi (natuurlijkpersoon).

Menurut Andi Amir Hamzah sehubungan dengan hal tersebut menyatakan dalam sistem hukum Inggris, korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik[1]:
1.       Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan pada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, manslaughter);
2.       Yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigamy, perkosaan.

Menurut Andi Hamzah sehubungan dengan hal tersebut menyatakan, patut pula diingat bahwa korporasi itu tidak mungkin dipidana, karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korporasi, delik itu harus ada ancaman pidana alternatif dendanya. Apabila korporasi dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh rumusan delik di dalam KUH harus ada pidana alternatif denda sebagaimana hanya dengan W.v.S Belanda sekarang ini[2].

Berdasarkan hal tersebut, Prof Dr. Muladi, SH., dan Prof Dr. Dwidja Priyatno, SH., MH., berpendapat bahwa korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik seperti di negeri Belanda, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya dalam dilakukan oleh manusia, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi[3].

PENUNTUTAN DAN PEMIDANAAN KORPORASI

Penuntutan dan pemidanaan korporasi mempunyai financial impact dan non-financial impact. Financial impact berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh korban akibat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan non-financial impact berkaitan dengan kerugian immaterial yang diderita oleh korban. Oleh karena itu, menurut Prof. Muladi, bilamana tindak pidana yang dilakukan sangat berat, maka di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi.[4]

Clinard and Yeager mengemukakan kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan kepada korporasi. Apabila kriteria tersebut tidak ada, maka sanksi perdatalah yang digunakan. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:[5]
1.       The degree of loss to the public;
2.       The lever of complicity by high corporate managers;
3.       The duration of violation;
4.       The frequency of the violation by the corporation;
5.       Evidence of intent to violate;
6.       Evidence of extortion; as in bribery cases;
7.       The degree of notoriety engendered by the media
8.       Presedent in law;
9.       The history of serious violation the corporation;
10.   Detererrence potential;
11.   The 4 degree of cooperation evinced by the corporation.

Tuntutan dan pemidanaan didasarkan kepada atau tujuan mengandung tujuan pemidanaan, baik yang bersifat preventif dan tindakan represif. Apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan Konsep Rancangan KUHP Baru 2005 adalah “mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat” (Pasal 54 ayat (1) sub a), serta tujuan pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidan, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (Pasal 54 ayat (1) sub c).

Selanjutnya mengingat bahwa sebagian besar dari bentuk kejahatan korporasi berada dalam ruang lingkup administrative penal law, maka ada kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan asas subsidiaritas, yaitu hukum pidana sebagai ultimum remedium dan sanksi administrative dan perdata yang banyak diterapkan.

Saya tidak sependapat dengan Prof. Muladi bahwa hukum pidana dalam pemidanaan korporasi harus didudukkan sebagai primum remedium[6]. Hukum pidana tetap harus didudukkan sebagai ultimum remedium, yaitu sebagai “senjata pamungkas” apabila sanksi administratif maupun perdata, tidak membuat korporasi tersebut menjadi jera.

STELSEL PIDANA YANG DAPAT DIJATUHKAN KEPADA KORPORASI

Stelsel pidana dalam KUHP terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari:
1.       Pidana Pokok;
a)      Pidana mati;
b)     Pidana penjara;
c)      Pidana kurungan;
d)     Pidana denda

2.       Pidana Tambahan
a)      Pencabutan hak-hak tertentu;
b)     Perampasan barang-barang tertentu;
c)      Pengumuman putusan hakim.

Sehubungan dengan masalah stelsel pidana, pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi?

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Sudarto menyatakan:

“Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka dalam sistem hukum pidana Inggris, korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi tidak ada pembatasannya. Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik:
a.       Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, menslaughter)
b.       Yang bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigami, perkosaan.”

Sehubungan dengan apa yang disebut di atas, maka korporasi yang melakukan tindak pidana tersedia pidana pokok denda dan pidana tambahan dan sejumlah tindakan.

Sedangkan Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu[7]:
1.       Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan kepada korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu;
2.       Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.

Sedangkan Suprapto menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah:
1.       Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;
2.       Pencabutan seluruh atau sebagian fasiliteit tertentu yang telah atau dapat diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu;
3.       Penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu


JENIS-JENIS SANKSI (PIDANA) YANG DAPAT DIJATUHKAN TERHADAP KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA[8]

1.   Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
a.     Sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindakan ekonomi yang dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (Pasal 7 ayat (1) sub b);
b.    Perampasan barang-barang tetap tak berwujud atau berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. sub d);
c.     Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk selama-lamanya 1 (satu) tahun (Pasal 7 ayat (1));
d.    Pengumuman putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f);
e.     Tindakan tata tertib seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah unag sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak, meniadakan apa yang telah dilakukan, tanpa hak, melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, se mua atas biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentkan lain (Pasal 8 sub a, b, c); dan
f.      Pidana denda, sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam Pasal 8 harus bersama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhakn terhadap korporasi adalah pidana denda.

Sebagai catatan system penjatuhan pidana yang dianut dalam UUTPE adalah system dua jalur (double track system) artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatukan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.

2.   Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos
a.     Pidana denda;
b.    Tindakan tata tertib (Pasal 19 ayat (3) jo. Pasal 19 ayat (1) dan (2).        
                                Dalam UU Pos juga dianut stelsel pidana “system dua jalur”

3.   Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
a.     Pidana denda (Pasal 20 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1); dan
b.    Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha ketenagalistrikan (Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2)).

4.   Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
a.     Menurut Pasal 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 59 hanya dikenakan denda Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah);
b.    Menurut Pasal 70, Korporasi yang melakukan tindak pidana Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dikenakan:
(1)    Pidana denda sebesar dua kali yang diancamkan; dan
(2)    Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha,


5.   Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 
          Pidana denda diperberat (ayat (4) Pasal 78 s.d Pasal 82)

6.   Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.     Pidana pokok berupa pidana denda diperberat dnegan sepertiga (Pasal 45); dan/atau
     Tindakan tata tertib (Pasal 47) berupa:
(1)    Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2)    Penutupan perushaaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau
(3)    Perbaikan akibat tindak pidana;
(4)    Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(5)    Meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(6)    Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

7.   Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
a.     Untuk korporasi dapat dijatuhkan pidanan denda (Pasal 48). Disamping itu dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
(1)    Pencabutan izin usaha; atau
(2)    Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun;
(3)    Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada pihak lain (Pasal 49)
Khusus untuk “tindakan administratif” dalam Pasal 47 ayat (2) terdapat kejanggalan kebijakan legislasi dalam merumuskan tindakan administratif berupa:
(1)    Penetapan pembatalan perjanjian;
(2)    Perintah menghentikan integrasi vertical;
(3)    Perintah menghentikan kegiatan yang menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidka sehat atau merugikan masyarakat;
(4)    Perintah menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
(5)    Penetapan pembatalan atas penggabungan/peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham;
(6)    Penetapan ganti rugi; dan/atau
(7)    Pengenaan denda minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar Rupiah)

8.   Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a.     Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha adalah pidana denda (Pasal 62)
b.    Pidana tambahan berupa:
(1)    Perampasan barang tertentu;
(2)    Pengumuman keputusan hakim;
(3)    Pembayaran ganti rugi;
(4)    Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
(5)    Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
(6)    Pencabutan izin usaha (Pasal 63)

9.   Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi

Pidana pokok yang dapat dijatukan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya ditambah/diperberat 1/3 (satu pertiga) (Pasal 20 ayat (7)).

10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan usaha/badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paking tinggi pidana denda ditambah sepertiganya (Pasal 56 ayat (2)). Dalam UU tersebut pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh milyar rupiah) (Pasal 52, 54 dan 54).

11. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pidana yang dapat dijatuhkan dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi (Pasal 5 ayat (2)).

Dari pengaturan sanksi terhadap korporasi yang melakukan kejahatan seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa stelsel pidana yang diterapkan terhadap korporasi adalah sebagai berikut:

1.       Pidana denda
2.       Sanksi perdata yaitu ganti kerugian
3.       Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[9] berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib
4.       Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim.

Prof. Muladi pernah mengadakan penelitian empiris terhadap 60 responden mengenai urutan sanksi pidana yang paling tepat dijatuhkan terhadap korporasi. Hasilnya:

1.       Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif[10] berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[11] berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib (dipilih oleh 45 responden atau 72,58%)
2.       Pidana denda (dipilih oleh 33 responden atau 51,61%)
3.       Sanksi perdata yaitu ganti kerugian[12] (dipilih oleh 32 responden atau 51,61%)
4.       Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim, sebanyak 20 orang atau 32,26%.

Dengan demikian, pidana penjara maupun kurungan tidak lazim untuk korporasi, meskipun menurut teori organ, pengurus korporasi dalam hal ini Direksi merupakan pengejawantahan dari organ tersebut.



[1] Loc.cit 
[2] Loc.cit 
[3] Ibid., hal. 98 
[4] Ibid. hal. 144 
[5] Loc.cit 
[6] Ibid., hal 150 
[7] Muladi, et al., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta:Prenada Media Group), 2010, hal. 96 
[8] Ibid., hal. 159-168 
[9] Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.
[10] Tindakan administratif dan 12 sanksi perdata yaitu ganti kerugian sebenarnya tidak termasuk dalam stelsel pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi sanksi tersebut menurut Prof Mulasi perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pemidanaan (dalam arti luas) termasuk tindakan terhadap korporasi. Sebagaimana catatan dalam Konsep Rancangan KUHP 2005 terdapat pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian semacam sanksi perdata tentang ganti kerugian (Pasal 67 ayat (1) huruf d. Lihat Ibid.hal 158.
[11] Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar