Korporasi sebagai badan hukum
(rechtpersoon) tidak bisa dikenai
tanggung jawab sama persis seperti orang pribadi (natuurlijkpersoon).
Menurut Andi Amir Hamzah
sehubungan dengan hal tersebut menyatakan dalam sistem hukum Inggris, korporasi
bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan
delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Delik-delik yang tidak dapat
dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik[1]:
1. Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya
bisa dikenakan pada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, manslaughter);
2. Yang hanya bisa dilakukan oleh orang
biasa, misalnya bigamy, perkosaan.
Menurut Andi Hamzah
sehubungan dengan hal tersebut menyatakan, patut pula diingat bahwa korporasi
itu tidak mungkin dipidana, karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh
korporasi, delik itu harus ada ancaman pidana alternatif dendanya. Apabila
korporasi dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh rumusan delik di dalam KUH
harus ada pidana alternatif denda sebagaimana hanya dengan W.v.S Belanda
sekarang ini[2].
Berdasarkan hal tersebut,
Prof Dr. Muladi, SH., dan Prof Dr. Dwidja Priyatno, SH., MH., berpendapat bahwa
korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik seperti
di negeri Belanda, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat
personal yang menurut kodratnya dalam dilakukan oleh manusia, maka tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi[3].
PENUNTUTAN
DAN PEMIDANAAN KORPORASI
Penuntutan dan pemidanaan korporasi mempunyai financial impact dan non-financial impact. Financial impact berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh korban akibat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan non-financial impact berkaitan dengan kerugian immaterial yang diderita oleh korban. Oleh karena itu, menurut Prof. Muladi, bilamana tindak pidana yang dilakukan sangat berat, maka di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi.[4]
Clinard and Yeager
mengemukakan kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan kepada
korporasi. Apabila kriteria tersebut tidak ada, maka sanksi perdatalah yang
digunakan. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:[5]
1. The
degree of loss to the public;
2. The
lever of complicity by high corporate managers;
3. The
duration of violation;
4. The
frequency of the violation by the corporation;
5. Evidence
of intent to violate;
6. Evidence
of extortion; as in bribery cases;
7. The
degree of notoriety engendered by the media
8. Presedent
in law;
9. The
history of serious violation the corporation;
10. Detererrence
potential;
11. The
4 degree of cooperation evinced by the corporation.
Tuntutan dan pemidanaan
didasarkan kepada atau tujuan mengandung tujuan pemidanaan, baik yang bersifat
preventif dan tindakan represif. Apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan
Konsep Rancangan KUHP Baru 2005 adalah “mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat” (Pasal 54 ayat (1)
sub a), serta tujuan pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidan, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat (Pasal 54 ayat (1) sub c).
Selanjutnya mengingat bahwa
sebagian besar dari bentuk kejahatan korporasi berada dalam ruang lingkup administrative penal law, maka ada
kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan asas subsidiaritas, yaitu hukum
pidana sebagai ultimum remedium dan
sanksi administrative dan perdata yang banyak diterapkan.
Saya tidak sependapat
dengan Prof. Muladi bahwa hukum pidana dalam pemidanaan korporasi harus
didudukkan sebagai primum remedium[6].
Hukum pidana tetap harus didudukkan sebagai ultimum
remedium, yaitu sebagai “senjata pamungkas” apabila sanksi administratif
maupun perdata, tidak membuat korporasi tersebut menjadi jera.
STELSEL
PIDANA YANG DAPAT DIJATUHKAN KEPADA KORPORASI
Stelsel pidana dalam KUHP
terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari:
1.
Pidana
Pokok;
a)
Pidana
mati;
b)
Pidana
penjara;
c)
Pidana
kurungan;
d)
Pidana
denda
2.
Pidana
Tambahan
a)
Pencabutan
hak-hak tertentu;
b)
Perampasan
barang-barang tertentu;
c)
Pengumuman
putusan hakim.
Sehubungan dengan masalah
stelsel pidana, pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi?
Berkaitan dengan pertanyaan
tersebut, Sudarto menyatakan:
“Sehubungan
dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka dalam sistem
hukum pidana Inggris, korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara
teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi tidak ada
pembatasannya. Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah
delik-delik:
a. Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya
bisa dikenakan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, menslaughter)
b. Yang bisa dilakukan oleh orang biasa,
misalnya bigami, perkosaan.”
Sehubungan
dengan apa yang disebut di atas, maka korporasi yang melakukan tindak pidana
tersedia pidana pokok denda dan pidana tambahan dan sejumlah tindakan.
Sedangkan Barda Nawawi Arief
menyatakan, walaupun korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi,
namun ada beberapa pengecualian, yaitu[7]:
1. Dalam perkara-perkara yang menurut
kodratnya tidak dapat dilakukan kepada korporasi, misalnya bigami, perkosaan,
sumpah palsu;
2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat
dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.
Sedangkan
Suprapto menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah:
1. Penutupan seluruhnya atau sebagian
perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;
2. Pencabutan seluruh atau sebagian
fasiliteit tertentu yang telah atau dapat diperolehnya dari pemerintah oleh
perusahaan selama waktu tertentu;
3. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan
selama waktu tertentu
JENIS-JENIS
SANKSI (PIDANA) YANG DAPAT DIJATUHKAN TERHADAP KORPORASI DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA[8]
1. Undang-Undang
Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
a.
Sanksi
pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindakan
ekonomi yang dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (Pasal 7 ayat (1)
sub b);
b.
Perampasan
barang-barang tetap tak berwujud atau berwujud termasuk perusahaan si terhukum
yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. sub d);
c.
Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh
pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk selama-lamanya 1 (satu)
tahun (Pasal 7 ayat (1));
d.
Pengumuman
putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f);
e.
Tindakan
tata tertib seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan,
mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah unag sebagai
pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak,
meniadakan apa yang telah dilakukan, tanpa hak, melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat satu sama lain, se mua atas biaya si terhukum, sekadar hakim
tidak menentkan lain (Pasal 8 sub a, b, c); dan
f.
Pidana
denda, sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib
dalam Pasal 8 harus bersama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat
dapat dijatuhakn terhadap korporasi adalah pidana denda.
Sebagai catatan system
penjatuhan pidana yang dianut dalam UUTPE adalah system dua jalur (double track
system) artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatukan secara
bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.
2. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos
a.
Pidana
denda;
b.
Tindakan
tata tertib (Pasal 19 ayat (3) jo. Pasal 19 ayat (1) dan (2).
Dalam UU Pos juga dianut stelsel pidana
“system dua jalur”
3. Undang-Undang
No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
a.
Pidana
denda (Pasal 20 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1); dan
b.
Pidana
tambahan berupa pencabutan izin usaha ketenagalistrikan (Pasal 20 ayat (3) dan
Pasal 22 ayat (2)).
4. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
a.
Menurut
Pasal 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 59 hanya
dikenakan denda Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah);
b.
Menurut
Pasal 70, Korporasi yang melakukan tindak pidana Pasal 60 sampai dengan Pasal
64 dikenakan:
(1)
Pidana
denda sebesar dua kali yang diancamkan; dan
(2)
Dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha,
5. Undang-Undang
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Pidana denda diperberat (ayat (4) Pasal 78 s.d Pasal 82)
Pidana denda diperberat (ayat (4) Pasal 78 s.d Pasal 82)
6. Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.
Pidana
pokok berupa pidana denda diperberat dnegan sepertiga (Pasal 45); dan/atau
Tindakan tata tertib (Pasal 47) berupa:
Tindakan tata tertib (Pasal 47) berupa:
(1)
Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2)
Penutupan
perushaaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau
(3)
Perbaikan
akibat tindak pidana;
(4)
Mewajibkan
mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(5)
Meniadakan
apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
(6)
Menempatkan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
7. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
a.
Untuk
korporasi dapat dijatuhkan pidanan denda (Pasal 48). Disamping itu dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
(1) Pencabutan izin usaha; atau
(2) Larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun;
(3) Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada pihak lain (Pasal 49)
Khusus untuk “tindakan
administratif” dalam Pasal 47 ayat (2) terdapat kejanggalan kebijakan legislasi
dalam merumuskan tindakan administratif berupa:
(1) Penetapan pembatalan perjanjian;
(2) Perintah menghentikan integrasi vertical;
(3) Perintah menghentikan kegiatan yang
menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidka sehat atau merugikan
masyarakat;
(4) Perintah menghentikan penyalahgunaan
posisi dominan;
(5) Penetapan pembatalan atas
penggabungan/peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham;
(6) Penetapan ganti rugi; dan/atau
(7) Pengenaan denda minimal Rp.
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp. 25.000.000.000,- (dua
puluh lima miliar Rupiah)
8. Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a.
Pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha adalah pidana denda (Pasal 62)
b.
Pidana
tambahan berupa:
(1) Perampasan barang tertentu;
(2) Pengumuman keputusan hakim;
(3) Pembayaran ganti rugi;
(4) Perintah penghentian kegiatan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
(5) Kewajiban penarikan barang dari
peredaran;
(6) Pencabutan izin usaha (Pasal 63)
9. Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
TIndak Pidana Korupsi
Pidana pokok yang dapat
dijatukan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya
ditambah/diperberat 1/3 (satu pertiga) (Pasal 20 ayat (7)).
10. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Sanksi yang dapat dijatuhkan
terhadap badan usaha/badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paking
tinggi pidana denda ditambah sepertiganya (Pasal 56 ayat (2)). Dalam UU
tersebut pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam
puluh milyar rupiah) (Pasal 52, 54 dan 54).
11. Undang-Undang
No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
Pidana yang dapat dijatuhkan
dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
Pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan
likuidasi (Pasal 5 ayat (2)).
Dari pengaturan sanksi
terhadap korporasi yang melakukan kejahatan seperti tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa stelsel pidana yang
diterapkan terhadap korporasi adalah sebagai berikut:
1.
Pidana
denda
2.
Sanksi
perdata yaitu ganti kerugian
3.
Pidana
tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan
administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu
yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[9] berupa
penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib
4.
Pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim.
Prof. Muladi pernah
mengadakan penelitian empiris terhadap 60 responden mengenai urutan sanksi
pidana yang paling tepat dijatuhkan terhadap korporasi. Hasilnya:
1.
Pidana
tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan
administratif[10]
berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau
dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib[11] berupa
penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib (dipilih oleh 45
responden atau 72,58%)
2.
Pidana
denda (dipilih oleh 33 responden atau 51,61%)
3.
Sanksi
perdata yaitu ganti kerugian[12]
(dipilih oleh 32 responden atau 51,61%)
4.
Pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim, sebanyak 20 orang atau 32,26%.
Dengan demikian, pidana
penjara maupun kurungan tidak lazim untuk korporasi, meskipun menurut teori organ,
pengurus korporasi dalam hal ini Direksi merupakan pengejawantahan dari organ
tersebut.
[3]
Ibid., hal. 98
[4]
Ibid. hal. 144
[5]
Loc.cit
[6]
Ibid., hal 150
[7]
Muladi, et al., Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, (Jakarta:Prenada Media Group), 2010, hal. 96
[8]
Ibid., hal. 159-168
[9]
Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak
Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan
tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.
[10]
Tindakan administratif dan 12 sanksi
perdata yaitu ganti kerugian sebenarnya tidak termasuk dalam stelsel pidana
seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi sanksi tersebut menurut Prof
Mulasi perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pemidanaan (dalam arti
luas) termasuk tindakan terhadap korporasi. Sebagaimana catatan dalam Konsep
Rancangan KUHP 2005 terdapat pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian
semacam sanksi perdata tentang ganti kerugian (Pasal 67 ayat (1) huruf d. Lihat
Ibid.hal 158.
[11]
Tindakan tata tertib tidak dikenal dalam KUHP, tetapi terdapat dalam Tindak
Pidana Ekonomi yaitu dalam Pasal 8 UU No. 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan
tindakan tata tertib tetap. Loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar