Latar
Belakang
Penggabungan (merger), Peleburan (konsolidasi)
dan Pengambilalihan (akuisisi) adalah
hal yang lazim dilakukan dalam lingkup bisnis. Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
seringkali menjadi jalan keluar bagi suatu perusahaan yang sedang mengalami
kesulitan keuangan untuk kembali bisa melakukan aktivitas bisnis, thus menjadi
bagi perusahaan-perusahaan besar untuk melebarkan ekspansi bisnisnya ke ranah
yang lebih luas.
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
sejatinya merupakan tindakan yang sah, sepanjang tindakan tersebut tidak
berdampak negatif bagi persaingan. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
5/1999, pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha
dan melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Secara
konseptual, merger, konsolidasi dan akuisisi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Merger
Merger berasal dari akar kata
kerja ‘to merge’. Secara lebih luas,
ia dipahami sebagai proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu
perusahaan. Menurut Meiners, merger adalah “a
contractual process through which one corporation acquires the assets and
liabilities of another corporation. The acquiring or surviving, corporation
retains its original identity.[1]” Merger seringkali digambarkan dengan simbol ini[2]:
Ada beberapa jenis merger, antara
lain:
(1)
Merger horizontal (horizontal
merger). Merger yang dilakukan antara perusahaan-perusahaan yang sebelumnya
merupakan pesaing dalam suatu usaha[3].
(2)
Merger vertikal (vertical
merger). Merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang salah
satunya merupakan perusahaan supplier
bagi yang lain. Dengan kata lain, merger vertikal adalah merger di antara
perusahaan-perusahaan yang berada dalam hubungan pembeli-penjual (buyer-seller relationship). Merger yang
terjadi antara suatu manufacturer
dengan distributor suatu produk adalah contoh dari jenis merger ini, karena manufacturer dengan distributor suatu
produk adalah contoh dari jenis merger ini, karena manufacturer merupakan supplier
bagi distributor[4]. Merger
vertikal ini juga bisa dibedakan menjadi dua, yaitu merger vertical maju (forward vertical merger) dan merger
vertical mundur (backward vertical merger).
Forward vertical merger dikatakan
terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan lain yang
merupakan distributornya. Backward
vertical merger terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan
perusahaan lain yang menjadi supplier-nya.
(3)
Merger Persaingan Potensial (Potential Competition Merger). Merger yang terjadi apabila suatu
perusahaan yang bermaksud memasuki pasar dalam suatu industri dibeli oleh dan
digabungkan dengan perusahaan yang sudah eksis di pasar itu, yang akan
tersaingi jika ada perusahaan baru masuk dalam pasar industri itu. Hasil dari potential competition merger ini adalah
bahwa calon pesaing yang akan hadir di suatu pasar akan menjadi lenyap.
Konsolidasi
Konsolidasi (peleburan) adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status
badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum[5].
Konsolidasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari simbolisasi di atas,
tergambar bahwa setelah konsolidasi, hanya ada satu entitas hukum yang baru
sebagai peleburan dari beberapa entitas hukum lama.
Akuisisi
Akuisisi (pengambilalihan) adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk
pengambilalihan saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
perseroan terbatas tersebut[6].
Secara konseptual, akuisisi Perseroan digambarkan sebagai berikut:
Dari simbolisasi di atas,
tergambar bahwa setelah proses akuisisi, tidak ada perubahan eksistensi dari
entitas hukum. Sebelum proses akuisisi dan sesudah proses akuisisi, entitas
hukum Perseroan masih tetap. Tidak ada entitas hukum yang berakhir demi hukum
setelah proses pengambilalihan. Yang berubah sejatinya hanya posisi pemegang
saham mayoritas yang kemudian menjadi pemegang saham minoritas[7].
Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia
Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan diatur dalam Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat
(1), dan ketentuan pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah sebagai
Peraturan Pelaksana Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1999 adalah Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha
dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha TIdak Sehat (PP 57/2010).
Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 57/2010, “Pelaku Usaha dilarang melakukan
Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham
perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau
Persaingan Usaha Tidak Sehat.”
Dari bunyi pengaturan tersebut, kita mengetahui bahwa perbuatan hukum
Penggabungan (Merger), Peleburan (Konsolidasi) dan Akuisisi (Pengambilalihan),
bukanlah perbuatan hukum yang dilarang. Tetapi jika perbuatan hukum tersebut
mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak
Sehat, itulah yang tidak dikehendaki. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa sisi
akibat yang menjadi fokus utama, yang mengakibatkan perbuatan hukum
penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan akuisisi (pengambilalihan)
dikategorikan “dilarang” atau “tidak dilarang”.
Pada 18 Oktober 2010,
dikeluarkan Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (Peraturan KPPU 13/2010).
Pedoman ini menjelaskan
mengenai: (1) penggabungan, peleburan atau pengambilalihan seperti apa yang
dapat dinotifikasikan kepada Komisi; (2) prosedur pemberitahuan penggabungan,
peleburan, atau pengambilalihan; dan (3) aspek-aspek yang akan dinilai oleh
Komisi dalam memberikan pendapatnya serta prosedur konsultasi rencana
penggabungan, peleburan atau pengambilalihan oleh pelaku usaha terhadap Komisi[8].
Dalam Peraturan KPPU
13/2010 yang dimaksud dengan[9]:
Penggabungan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Peleburan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua badan usaha atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu badan usaha baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari badan usaha yang meleburkan diri dan status
badan usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Pengambilalihan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambilalih saham
badan usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha
tersebut.
Menurut KPPU, merger[10] secara
sederhana adalah tindakan pelaku yang mengakibatkan:
1.
Terciptanya konsentrasi kendali dari beberapa pelaku
usaha yang sebelumnya independen kepada satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha; atau
2.
Beralihnya suatu kendali dari satu pelaku usaha kepada
pelaku usaha lainnya yang sebelumnya masing-masing independen sehingga
menciptakan konsentrasi pengendalian atau konsentrasi pasar.
Pengawasan
Merger
Pra Notifikasi adalah
pemberitahuan resmi yang wajib disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi,
apabila Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang dilakukan mengakibatkan nilai aset atau nilai penjualannya
melebihi jumlah nilai yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
KPPU melakukan
pengawasan merger dalam bentuk:
1.
Pemberitahuan merger (pra notifikasi)
2.
Konsultasi merger
Pemberitahuan
Merger (pra-notifikasi)
Pra Notifikasi adalah
pemberitahuan resmi yang wajib disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Komisi,
apabila Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang dilakukan mengakibatkan nilai aset atau nilai penjualannya
melebihi jumlah nilai yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Sesuai Pasal 29 UU
5/1999 dan Pasal 5 PP 27/2010, pemberitahuan merger kepada KPPU wajib dilakukan
paling lama 30 hari sejak tanggal merger berlaku efektif secara yuridis. Itu
artinya, setelah pelaku usaha melakukan penggabungan, peleburan atau pengambilalihan
saham, maka perusahaan hasil merger melakukan pemberitahuan kepada KPPU.
Konsultasi
Merger
Konsultasi adalah
permohonan saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis yang diajukan oleh
Pelaku Usaha kepada Komisi atas rencana Penggabungan atau Peleburan Badan
Usaha, dan Pengambilalihan Saham Perusahaan sebelum Penggabungan atau Peleburan
Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan berlaku efektif secara
yuridis.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 10 PP 57/2010, KPPU memberi kesempatan kepada pelaku usaha untuk
melakukan konsultasi kepada KPPU secara sukarela (lisan maupun tulisan) sebelum
melakukan merger guna meminimalkan resiko kerugian yang mungkin diderita oleh
pelaku usaha jika mergernya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, karena di kemudian hari akan dibatalkan oleh KPPU.
Penilaian
Merger
Pasal 28 UU 5/1999
menyatakan bahwa merger dilarang apabila mengakibatkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Itu terjadi jika setelah merger pelaku usaha
dapat diduga melakukan perjanjian yang dilarang, dan/atau penyalahgunaan posisi
dominan.
Untuk menilai apakah
merger dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
KPPU akan melakukan penilaian terhadap pemberitahuan maupun konsultasi merger
berdasarkan analisis:
1.
Konsentrasi pasar;
2.
Hambatan masuk pasar
3.
Potensi perilaku anti persaingan
4.
Efisiensi; dan/atau
5.
Kepailitan
KASUS
AKUISISI YANG DITANGANI KPPU
Pada 21 Januari 2008, nota
kesepahaman (MoU) antara PT. Carrefour Indonesia (Carrefour), PT. Sigmantara
Alfindo Prime Horizon Pte.Ltd untuk membeli 75 persen saham PT. Alfa Retailindo
(Alfa) ditandatangani di Jakarta. Nota kesepahaman itu kemudian ditindaklanjuti
dengan penandatangan perjanjian jual beli saham antara Carrefour dan Alfa pada
21 Januari 2008.
Setelah diakuisisi Carrefour,
dari 30 gerai ex-Alfa, 14 ganti nama jadi Carrefour Express, dan 16 jadi Carrefour.
Dengan demikian, pasca mengakuisisi Alfa, Carrefour beroperasi di dua format:
hypermarket dan supermarket.
Carrefour dan ritel modern
lainnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memasok barang dari pemasok dan
menjualnya kepada konsumen. Keberadaan format ritel modern menawarkan produk
yang murah thus memberi kemudahan dan
kenyamanan bagi konsumen. Namun fitur layanan pro konsumen dan harga murah
dilakukan dengan mengeksploitasi rabat yang dimintakan kepada pemasok barang.
Oleh Carrefour, rabat yang
dipersyaratkan untuk produk tertentu awalnya sebesar 20% dari harga jualnya ke
Carrefour. Besaran rabat ini kemudian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Bahkan ada di antara pemasok yang diminta rabat oleh Carrefour sampai dengan
70% dari harga pasokannya. Selain itu pemasok juga mendapatkan perlakuan
abusive dari Carrefour berupa pengenaan biaya promosi yang sangat tinggi.
Seluruh ketentuan kerjasama tersebut dituangkan Carrefour dalam dokumen trading
terms.
Terkait dengan tindakan itu, oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Carrefour diperintahkan untuk melepas
seluruh kepemilikannya di Alfa melalui Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009 tanggal 3 November 2009.
Paper ini akan menganalisis
pertimbangan hukum yang dipakai KPPU dalam memutus kasus akuisisi Carrefour
atas Alfa. Sengketa ini menarik. Meskipun Carrefour tidak terbukti melanggar Pasal
28 ayat (2) UU 5/1999 yang substansi normanya mengatur tentang tindakan
akuisisi yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat, namun KPPU tetap menjatuhkan sanksi administratif berupa perintah
bagi Carrefour untuk melepas seluruh kepemilikannya di Alfa.
Analisis
Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009
Dalam putusan ini,
sepertinya majelis hakim menjatuhkan sanksi memerintahkan Carrefour untuk
membatalkan akuisisi terhadap Alfa berdasarkan suatu penilaian bahwa setelah
melakukan akuisisi, Carrefour terbukti menyalahgunakan market power yang
dimilikinya sehingga melanggar ketentuan tentang penguasaan produksi dan/atau
pemasaran barang/jasa yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999.
Pada dasarnya, analisis
dampak bagi praktek akuisisi bertolak dari definisi praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UU
Persaingan Usaha[11].
Di satu sisi, kejelasan normatif bagi kajian terhadap akuisisi adalah analisis
dampak adanya praktek monopoli dengan menggunakan indikator pemusatan kekuatan
ekonomi. Pemusatan ekonomi merujuk pada kekuatan pasar bagi pelaku usaha yang
melakukan akuisis baik sebelum dan sesudah akuisisi. Dalam Pasal 1 angka 3 UU
Persaingan Usaha, pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas
suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa[12].
Apakah dalam memutus
kasus ini KPPU menerapkan analisis seperti itu?
Dalam kasus ini, KPPU
menilai Carrefour terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU
5/1999 tentang penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Untuk dapat dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat (1) maka perlu memenuhi unsur:
(1) pelaku usaha; (2) menguasai pasar; (3) pelaku usaha tersebut menerapkan
sebuah kebijakan usaha; dan (4) kebijakan usaha tersebut dapat menimbulkan
dampak negatif berupa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Berikut ini adalah temuan-temuan
KPPU terkait terpenuhi-tidaknya keempat unsur Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999:
Unsur
Pelaku Usaha
Carrefour adalah badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia serta melakukan kegiatan
usaha di bidang perekonomian, dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.
Unsur
Menguasai Pasar
Menurut Pasal 17 ayat
(2) UU 5/1999, pelaku usaha dianggap menguasai pasar jika produk barang/jasa
yang diproduksi dan/atau dipasarkan belum ada substitusinya atau mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama atau pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Menurut pertimbangan
KPPU, Carrefour memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen pada pangsa pasar
bersangkutan hulu (upstream). Dalam pasar bersangkutan, jumlah pelaku usaha
diukur dari adanya peningkatan jumlah pelaku usaha di pasar bukan dari
peningkatan jumlah output produksi (6.3.8.9). Pasar bersangkutan hulu adalah
pasar yang menunjukkan relasi antara pemasok barang/jasa dan Carrefour yang
berbeda dengan pasar hilir (downstream) yaitu pasar yang menunjukkan relasi
antara Carrefour dan konsumen.
Kondisi persaingan juga
dapat diukur dari tingkat konsentrasi dan kecenderungan yang ditunjukkan
menggunakan indikator nilai HHI dan CR4. Tingkat konsentrasi tinggi dan
cenderung meningkat menunjukkan bahwa kondisi pasar bersangkutan didominasi
oleh beberapa pelaku usaha tertentu (6.3.8.10.). KPPU menilai bahwa kondisi
pasar bersangkutan upstream sangat terkonsetrasi dengan kecenderungan yang
terus meningkat, dimana Carrefour menjadi pelaku usaha dominan di dalamnya
(5.46). Sebelum akuisisi pada 2007, tingkat HHI industri mencapai angka 2950,09
dengan nilai CR4 mencapai 93,36 persen yang menandakan konsentrasi yang sangat
tinggi dari suatu industri. Setelah akuisisi angka tersebut semakin meningkat
(6.3.8.12)
Nilai HHI dan CR4
tersebut yang menandakan adanya kekuatan pasar yang dimiliki Carrefour serta
kondisi struktur industri yang kurang mendukung terciptanya pesaingan sehat
belum dapat dijadikan alasan untuk menyatakan Carrefour yang memiliki market
power tersebut melakukan pelanggaran. Market power yang dimiliki Carrefour
dinyatakan melanggar hukum persaingan usaha apabila market power tersebut
secara unilateral digunakan untuk mengeksploitasi suprplus konsumen dan/atau
mencegah pelaku usaha bersaing untuk masuk ke pasar atau bersaing secara
efektif (6.3.8.13.). KPPU merujuk temuan beberapa perilaku unilateral dari
Carrefour sebagai upaya untuk mengeksploitasi surplus dari para pemasoknya
(6.3.8.14).
KPPU juga menunjukkan
temuan adanya tindakan pararel yang dilakukan oleh Carrefour pada pasar
bersangkutan yang terjadi pada kondisi tingkat konsentrasi yang cenderung
meningkat serta adanya entry barrier sehingga menjadikan kondisi merugikan
konsumen yang berpotensi tetap akan terjadi dalam jangka panjang (6.3.8.17).
Dengan demikian, KPPU menyimpulkan bahwa dampak syarat perdagangan (trading
terms) yang diterapkan Carrefour terhadap pemasok menimbulkan persaingan yang
tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing.
Unsur
menerapkan kebijakan usaha
Menurut KPPU, dengan
melakukan akuisisi terhadap Alfa, Carrefour telah menerapkan sebuah kebijakan
usaha.
Unsur
dampak negatif dari kebijakan usaha
KPPU sependapat dengan
penilaian tim pemeriksa yang menunjukkan adanya tindakan-tindakan Carrefour
yang mengeksploitasi surplus dari pemasok dengan menyalahgunakan penguasaan 57,99 persen pangsa pasar
bersangkutan upstream setelah mengakuisisi Alfa, antara lain
(6.3.8.14): (1) menerapkan besaran trading terms kepada para pemasok Alfa,
sehingga pasca akuisisi, trading term antara pelaku bisnis, pemasok dan peretail
cenderung naik dari tahun ke tahun tanpa justifikasi yang jelas; (2) memaksakan
pemasok Carrefour untuk juga memasok pada Alfa (Tying in).
Dengan tindakan-tindakan itu,
Carrefour dinilai telah melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya
persaingan efektif dalam pasar yang bersangkutan, sehingga kondisi tersebut
menyebabkan konsumen tidak dapat menghindari penyalahgunaan kekuatan pasar oleh
Carrefour sehingga dalam jangka waktu pendek konsumen bisa kehilangan pilihan
(6.3.8.16), dan tindakan yang dilakukan tersebut menunjukkan tren yang terus
meningkat sehingga menjadikan kondisi merugikan konsumen tersebut berpotensi
tetap terjadi dalam jangka panjang. (6.3.8.17)
Oleh karena itu KPPU menilai
bahwa terdapat dampak negatif pada persaingan sebagai akibat akuisisi yang
dilakukan Carrefour terhadap Alfa.
CATATAN
AKHIR
1.
Menurut KPPU, merger yang menciptakan konsentrasi pasar
tinggi berpotensi mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat bergantung pada analisis lainnya pada pasar bersangkutan berdasarkan
Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999, sehingga walaupun Pasal 28 UU 5/1999 dianulir,
sebagai lembaga yang berwenang menciptaan persaingan usaha yang sehat maka
putusan pembatalan akuisisi dapat diterapkan dalam kasus ini;
2.
Menurut KPPU, akuisisi dilarang apabila mengakibatkan
terjadinya pemusatan ekonomi pada bidang produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa. Pemusatan kekuatan ekonomi mengacu pada Pasal 1 angka 3 UU
5/1999 “penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau
lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.”
BAHAN
BACAAN
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Salatiga: Griya
Media.
Yakub Adi Krisanto, "Analisis Akuisis Alfa
Supermarket oleh Carrefour" dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Salatiga,
Widya Sari Press, 2008
Daftar Peraturan
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
Lampiran Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010,
[1] Arie
Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 32
[2] Tri
Budiyono, Hukum Perusahaan, Salatiga: Griya Media, hal. 204
[3] Arie
Siswanto, Op. cit., hal. 34
[4] Ibid.,
hal. 34
[5] Pasal 1
angka 10 UU No. 40 Tahun 2007
[6] Pasal 1
angka 11 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[7] Tri
Budiyono, Op. Cit., hal. 217.
[8] Lampiran
Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010, hal. 1.
[9] Ibid,
hal. 4.
[10] KPPU
hanya menggunakan istilah merger untuk menunjuk tindakan-tindakan mencakup
konsolidasi, akuisisi, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Lihat:
Ibid, hal. 5.
[11] Yakub
Adi Krisanto, "Analisis Akuisis Alfa Supermarket oleh Carrefour"
dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Salatiga, Widya Sari Press, 2008, hal.
37.
[12] Ibid,
hal. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar