Senin, 10 Oktober 2011

Where is my home?

Is my house really really my home?

Suatu ketika, Ana menyadari bahwa rumahnya bukanlah tempat yang benar-benar membuatnya nyaman. Orang tuanya sering bertengkar karena kesulitan ekonomi. Dia dan adik-adiknya seringkali menangis melihat kedua orang tuanya beradu-mulut bahkan melontarkan kata-kata yang menurutnya menyakitkan hati. Ketidaknyamanannya di dalam rumah, membuatnya sangat berkeinginan untuk tinggal jauh dari rumah, agar ia tidak mendengar keributan antara kedua orang tuanya…
Kisah Ana, bukanlah kisah satu-satunya tentang ketidaknyamanan rumah. Tentang house is not really-really home. Rumah dalam bentuk fisik, bisa jadi sebuah rumah mewah, berisi perabot-perabot mahal bahkan fasilitas hiburan yang modern. Mau main playstation bisa, mau nonton, fasilitas hometheatre tersedia. Tapi apakah rumah dengan berbagai fasilitas tersebut, bisa membuat anak yang berada dalam rumah tersebut nyaman secara psikis?

Kebutuhan akan penerimaan adalah hal yang paling mendasar bagi seorang anak untuk merasa nyaman dalam sebuah keluarga. Anak seringkali hanya butuh didengarkan, bukan ditanggapi. Anak seringkali hanya butuh seukir senyum dari orang tua yang ia kasihi, bukan nasehat yang bertubi-tubi. Inilah yang seringkali menjadi akar kesalahpahaman antar keluarga.

Keluarga adalah kumpulan orang yang paling dekat dengan anak. Kedekatan tersebut menjadikan keluarga sebagai pihak yang paling berpengaruh terhadap psikis anak. Dorongan, motivasi, pelukan yang hangat, kata-kata yang bijak, dapat membangkitkan semangat seorang anak untuk menjadi tough dalam menghadapi tantangan-tantangan hidupnya. Keakraban dalam keluarga menjadi benteng psikis bagi anak ketika ia bergaul dengan dunia luar (di luar keluarganya). 

Dunia luar penuh dengan prinsip-prinsip yang strange untuk seorang anak. Namun apabila sebelum ia keluar dari rumah, ia telah dibekali dengan prinsip-prinsip dari rumah, dan prinsip-prinsip tersebut ditanamkan dengan kasih sayang, maka seorang anak akan punya ketahanan untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut ketika terjadi pertarungan dengan prinsip-prinsip dunia luar. 

Jika orang tua sudah tidak care (peduli) dengan anak, maka hal ini akan menjadi scare (ketakutan) bagi anak. Secara psikologis, benteng atau ketahanannya untuk menghadapi tantangan hidup melemah. Itulah sebabnya anak kehilangan arah, dan terjerumus ke dalam juvenile delinquency (kenakalan remaja). Mereka mencari jati diri mereka di luar, karena mereka tidak menemukan jati diri mereka dalam keluarga. Mereka mencari komunitas yang lebih bisa menerima mereka dengan segala kekurangannya. Penerimaan itu tidak mereka dapatkan di rumah.


Setelah house is really really not home, where is the real home?

Keinginan Ana benar-benar terpenuhi. Ia berhasil tinggal di luar rumah, karena ia berhasil masuk ke sekolah berasrama. Sekarang ia tinggal dengan teman-teman sebayanya…
"Di seberang sana, ada seorang lelaki yang menawan hati," pikirnya.

"Kelihatannya ia begitu memperhatikanku", gumamnya. 

Ia kemudian meyakinkan dirinya untuk dekat, dengan harapan bahwa lelaki itulah yang akan menjadi home baginya – tempat yang aman untuk berbagi tentang kehidupan, sekaligus tempat yang nyaman untuk sekedar bersandar melepaskan kelelahan menghadapi tantangan hidup.

Dari tahun ke tahun, Ana merajut hubungan. Perjuangan demi perjuangan dilalui agar hubungan tersebut tetap terpelihara.

Secara psikologis, seorang anak yang telah memasuki usia akil-balig mempunyai hasrat untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Menjalin hubungan dengan orang yang dianggap bisa menerima dirinya apa adanya merupakan salah satu "home" bagi seseorang. Ia mencari kenyamanan di sana. Ia mencari tempat dimana ia bisa diterima dan diperlakukan sebagaimana ia ingin diperlakukan. Hal-hal yang tidak ia dapat di dalam rumah, akan terus-menerus ia cari dalam perjalanan hidupnya. Lalu, suatu ketika, ia mendapatkan seorang lawan jenis yang menerima dirinya apa adanya, maka hubungan itu akan ia pertahankan, seiring dengan kebutuhannya akan penerimaan. 

Tapi setelah 6 tahun membangun hubungan, konflik terjadi.

"Maaf Ana, hubungan kita tidak bisa kita lanjutkan, karena kau dan aku berasal dari suku yang berbeda. Status sosial kita juga berbeda. Aku pikir lebih baik kita mengakhiri hubungan ini sampai di sini."

Hati Ana pedih mendengar perkataan itu. Ia hanya terisak dan hampir tak sanggup berkata apapun.

"Aku tetap akan menunggumu...", kata Ana spontan. Ana memang sudah terbiasa menunggu. Selama 6 tahun, Ana sudah terbiasa menunggu, karena kekasihnya adalah seorang perwira yang seringkali ditugaskan ke tempat yang jauh dalam waktu yang cukup lama.

"Kau tak usah menungguku. Apa yang kau lakukan seperti paku yang sudah kau tancap lalu kau cabut kembali. Bekas tancapan itu tidak akan pernah hilang. sampai kapanpun...Setelah ini, aku akan pergi ke Malaysia"

"Aku tetap akan menunggumu..."


"Hmmm..... Sampai kapan?"

"Sampai kau kembali dari Malaysia..."

Ana tetap berharap, meskipun Ana tahu, ruangnya untuk mengharapkankan sang kekasih kembali kepadanya sangatlah kecil bahkan hampir tidak ada sama sekali.


Setelah 6 bulan berada di Malaysia, Ana mendengar kabar bahwa kekasihnya telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Kenyataan itu seperti berkata,


"Sudah ku katakan, kau tidak usah menungguku lagi..."

Harapan Ana benar-benar musnah. Ia tak menyangka, secepat itu lelaki yang dulu berkata sangat mencintainya, berpaling ke lain hati.

"So, where is my real home?" jerit Ana dalam hati…

Ketika terjadi konflik, penerimaan itu berubah menjadi penolakan. Penolakan tragis yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian traumatis. Seseorang yang mengalami kejadian traumatis biasanya mengalami stress pasca-trauma. Secara psikologis, stress pasca trauma terjadi karena kerusakan hippocampus. Hippocampus memiliki peran penting dalam membingkai kenangan terntang kejadian yang dialami (memori episodik atau memori autobiografi). Hippocampus merekam apa yang dilihat dan apa yang didengar, kemudian membingkai keduanya dalam sebuah persepsi. [1]


Reorganize

“Ana, daripada setiap hari kau termenung dan menangis mengingat-ingat masa lalumu, lebih baik kau lanjutkan studimu ke jenjang yang lebih tinggi. Tak ada gunanya kau mengingat-ingat masa lalu. Lebih baik kau gunakan waktumu untuk hal yang lebih berguna. Studi lanjut bisa memulihkan konsentrasimu. Bukankah kau seorang bintang kelas dari dulu? Mana semangatmu yang dulu?"


Ana hanya terpekur mendengar perkataan ibunya. Di benak Ana hanya ada bayangan kekasih yang selalu ia banggakan dan yang selalu berusaha dibuatnya bangga selama bertahun-tahun. Memori tentang mereka selalu terlintas secara otomatis dalam benaknya. Memori yang dulu menghidupinya, sekarang berubah menjadi memori yang menyakitkan hatinya.


Kembali ia terpekur dan merenung, "Siapa yang sekarang harus ku buat bangga?" 

"Orang tua.", hatinya berbisik

"Orang tua yang selama ini membesarkan, memotivasiku. Merekalah yang sekarang ini harus ku buat bangga. Selama ini aku sudah melupakan mereka hanya karena ingin setia dengan dia yang sekarang telah meninggalkanku."


Tiba-tiba, ada pesan masuk ke hp. Ana membuka dan membaca pesan yang dikirimkan oleh sahabatnya: "Hormatilah ayah-ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu."


"Ini bukan suatu sms yang kebetulan" pikirnya. Makin mantaplah niat Ana untuk  berbelok dari visi "menunggu kekasih" menuju ke visi back to school; melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.

Pemulihan pasca trauma dilakukan dengan reorganize (penataan ulang). Penataan ulang mencakup penataan ulang prioritas dan penataan ulang emosi. Penataan ulang membutuhkan waktu dan  tempat. Butuh waktu untuk memulihkan emosi. Butuh waktu untuk menata ulang prioritas. Butuh tempat untuk menyalurkan energi. Usahakan agar energi tersebut dicurahkan untuk hal-hal yang berguna, misalnya studi lanjut, ikut dalam kegiatan sosial, menjalin komunikasi dengan teman yang baru, terlibat dalam kegiatan-kegiatan kerohanian. Hal ini bertujuan untuk membentuk identitas diri yang baru, dimana orang tersebut merasa sukses mengerjakan sesuatu. "Rasa sukses mengerjakan sesuatu", itulah yang menjadi daya dorong bagi orang tersebut untuk berkarya. Rasa sukses  tersebut juga membuatnya memiliki self confidence dalam menghadapi tantangan yang lebih berat dalam kelanjutan proses kehidupan.


Sebuah Renungan: Proses Kehidupan Tetap Berlangsung Sampai Rest In Peace
Proses kehidupan tetap berlangsung. Setelah seseorang menjalani tahap penataan ulang, ia kembali diperhadapkan dengan relasi dan tugas yang baru. Namun semuanya butuh kesabaran untuk mempertahankan dan memperjuangkan apa yang sudah ada, sampai pada tahap tertentu yang hanya bisa kita rencanakan, namun kita tidak tahu hasil akhirnya. 

Dalam perjalanan kehidupan, bisa jadi relasi yang kita pertahankan kemudian hilang. Bisa jadi,  keluarga, orang-orang yang kita kasihi, sahabat-sahabat terdekat, meninggalkan kita pada waktu yang tidak kita duga. Karier yang kita rajut dengan susah payah, suatu ketika bisa lenyap. Lalu apa yang bisa kita perbuat? Mempertahankan apa yang ada pada kita saat ini semampu kita, berjuang untuk melakukan yang terbaik, menyenangkan orang-orang yang dekat dengan kita selagi kita masih punya waktu untuk menyenangkan mereka.

Keluarga, teman, harta, pendidikan, karier, kedudukan, dapat membuat kita merasa nyaman, feel like home (jujur saja), tapi itu hanya akan berlangsung beberapa waktu lamanya. “Beberapa waktu lamanya” adalah rentang waktu yang tak bisa kita tentukan dengan perhitungan manusia. Those are homes but none of them is the real home. So, pertahankanlah mereka sebagai anugerah. "Anugerah" : saat mereka ada pada kita, kita bersyukur. Namun, saat mereka harus pergi, kita harus bisa melepas dengan rela hati.


Anugerah tidak selamanya ada dalam genggaman kita, karena memang begitulah mereka adanya. Anugerah bisa datang dan bisa pergi kapan saja. Ada yang tetap tinggal dalam waktu yang cukup lama, ada pula yang cepat berlalu bagaikan kilat. Sesungguhnya, kita hanyalah penerima anugerah. Sebagai penerima, nikmati dan jagailah anugerah itu selama anugerah itu  masih dipercayakan kepada kita. Itulah yang dapat kita lakukan di dunia sampai tiba saatnya ajal menjemput: we're going to rest in peace.

The real home

Bila kita masih berada di dalam dunia, kemanapun kita mencari the real home, kita tidak akan menemukannya. The real home tidak ada di dalam dunia, sebab anugerah yang kita terima di dalam dunia, hanya membuat kita nyaman untuk sementara. Those are homes but none of them is the real home. Rumah kita yang sesungguhnya berada di dalam rumah Sang Pemberi Anugerah. Di sana banyak tempat tinggal. Ke sanalah kita menuju.

"Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.” (Yohanes 14: 1-2)

“Do not let your hearts be troubled. You believe in God; believe also in me. My Father’s house has many rooms; if that were not so, would I have told you that I am going there to prepare a place for you?" (John 14:1-2)





[1] Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Temporal_lobe, diakses tanggal 10 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar