Senin, 22 Agustus 2011

Hari ini aku menunggu-Mu, Tuhan


“Hari ini aku menunggu, Tuhan,
menunggu keajaiban yang akan Engkau lakukan,
menunggu kemuliaan yang telah Engkau janjikan.
Entah apa bentuknya, namun aku percaya…
ada keajaiban setiap hari”

Sejak awal aku tahu bahwa aku dapat berpikir, aku berpikir bahwa  pikirankulah yang mengendalikan seluruh hidupku Bahkan ketika masuk sekolah, aku pikir, aku dapat mengendalikan nilai berapa yang ada di kertas ujianku. Apabila nilai ujianku tidak seperti yang aku mau, artinya aku gagal mengendalikannya. Apabila aku mengerjakan sesuatu, aku mengerjakannya dengan tanganku. Jika bagus, akulah yang patut dipuji dan jika jelek, berarti pekerjaanku tidak sempurna.

Suatu ketika, saat aku membaca suatu ayat Firman dalam Roma 8:28, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah…” aku berpikir, benarkah Engkau bekerja dalam segala sesuatu? Bagaimana dengan hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku, apakah Engkau juga turut bekerja bahkan menjadi dalang-Nya?

Aku pikir, kalau Allah turut bekerja, pasti segala sesuatu baik, enak, dan tidak akan ada masalah yang berarti. Tapi ternyata bukan disini intinya. Intinya bukanlah kebaikan atau keburukan, tetapi apakah kita mengasihi Allah? Karena segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia. Hanya bagi yang mengasihi Dia. Lalu bagaimana dengan yang tidak mengasihi Dia?

Baik. Sebelum kita memahami tentang akibat bagi yang mengasihi Dia dan yang tidak mengasihi Dia, mari kita renungkan lebih dalam lagi tentang “mengasihi Dia”. Dapatkah kita mengasihi orang yang belum pernah kita kenal? Saya secara pribadi, tidak dapat. Maka, untuk dapat mengasihi, mari kita kenal siapa yang akan kita kasihi itu. Ada sebuah ayat yang menggambarkan tentang pengenalan akan Allah:

Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya. “Berapa lama lagi, hai orang yang tak berpengalaman, kamu masih cinta kepada keadaanmu itu, pencemooh masih gemar kepada cemooh, dan orang bebal benci kepada pengetahuan? Berpalinglah kamu kepada teguranku! Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu. Oleh karena kamu menolak ketika aku memanggil, dan tidak ada orang yang menghiraukan ketika aku mengulurkan tanganku, bahkan, kamu mengabaikan nasihatku, dan tidak mau menerima teguranku, bahkan kamu mengabaikan nasihatku, dan tidak mau menerima teguranku, maka aku juga akan menertawakan celakamu; aku akan berolok-olok, apabila kedahsyatan datang ke atasmu, apabila kedahsyatan datang ke atasmu seperti badai, dan celaka melanda kamu seperti angin puyuh, apabila kesukaran dan kecemasan datang menimpa kamu. Pada waktu itu mereka akan berseru kepadaku, tetapi tidak akan kujawab, mereka akan bertekun mencari aku, tetapi tidak akan menemukan aku. Oleh karena mereka benci kepada pengetahuan dan tidak memilih untuk takut akan Tuhan, tidak mau menerima nasihatku, tetapi menolak segala teguranku, maka mereka akan memakan buah perbuatan mereka, dan menjadi kenyang oleh rencana mereka. Sebab orang yang tidak berpengalaman akan dibunuh oleh keenganannya, dan orang bebal akan dibinasakan oleh kelalaiannya. Tetapi siapa mendengarkan aku, ia akan tinggal dengan aman, dan terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka.” (Amsal 1:20-33)

Sebelumnya, mari kita mengerti siapakah “hikmat” yang dimaksud dalam pembacaan di atas. Dikatakan dalam Amsal 8:23, “Sudah pada zaman purbakala aku (hikmat) dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada.” Mari lihat pada awal pembentukan bumi, siapakah yang ada disana? “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kejadian 1:1-2). Lihat pula dalam Yohanes 1:1, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”

Jadi, yang dimaksud dengan hikmat di atas adalah Firman Allah. Firman dalam hal ini, bukanlah sekedar sebuah buku bernama Alkitab yang berisi kata-kata, tetapi lebih daripada itu, yaitu tentang perkataan Firman dalam Alkitab yang kita alami secara pribadi dalam tuntunan Roh Kudus. Firman tidak bisa dipisahkan dengan perkerjaan Roh Kudus. Karena tanpa Roh Kudus, Firman adalah perkataan yang mati. Roh Kuduslah yang menghidupkan Firman dalam hati kita kemudian barulah terwujud melalui tindakan.

Kembali pada pengenalan akan Allah. Bagaimana cara mengenal seseorang? Berkomunikasi.
Nah, dalam pembacaan kita di atas, yang pertama kali mengajak berkomunikasi sebenarnya bukan kita, tetapi Allah sendiri melalui Roh Kudus di dalam hati kita:
“Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya.”
 “…yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:8)

Dialah yang memanggil kita. Dialah yang memulai untuk berkomunikasi. Apakah tujuannya mengajak kita berkomunikasi?
“Berapa lama lagi, hai orang yang tak berpengalaman, kamu masih cinta kepada keadaanmu itu, pencemooh masih gemar kepada cemooh, dan orang bebal benci kepada pengetahuan? Berpalinglah kamu kepada teguranku!”

Ia ingin kita memperoleh pengetahuan dan mengalami pengalaman bersama Tuhan. Ia ingin kita berpaling! Bila kita diajak berpaling, artinya kita sedang tersesat dan berjalan menuju sesuatu yang berbahaya tanpa kita sadari. Tahukah kita bahwa sebenarnya Tuhan adalah gembala dan kita adalah dombanya (Mazmur 23)? Ketika kita berjalan menurut yang kita pikirkan, menurut yang kita mau, siapakah sebenarnya gembala kita? Gembala kita adalah diri kita sendiri, dan ketika kita menuruti keinginan kita sendiri, kita sedang lenyap, seperti ada tertulis:
“dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (I Yohanes 2:17)

Lenyap menuju kepada kematian. Kematian yang dimaksud bukan hanya kematian kekal, melainkan juga kematian sekarang ini. Orang yang hidup tapi Rohnya mati, sukacitanya lenyap, damai sejahteranya lenyap. Terikat dengan dosa dan menjadi budak dosa. Maka, dengarkanlah teguran, dan berpalinglah, sekarang! Agar engkau tidak lenyap.

Lihat, bila kita berpaling, apa yang akan Allah berikan?
“Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu.”

Wow, kita bakal jadi tempat curhatnya Tuhan. Luar biasa! Kita diangkat menjadi sahabat-Nya. Siapa punya sahabat? Saya punya, dan dia sangat berharga untuk saya. Begitu dengan pula Tuhan. Siapa menjadi sahabat-Nya, berharga di mata-Nya.

Tetapi, lihat juga, apa akibat jika kita menolak teguran Allah.
“Oleh karena kamu menolak ketika aku memanggil, dan tidak ada orang yang menghiraukan ketika aku mengulurkan tanganku, bahkan, kamu mengabaikan nasihatku, dan tidak mau menerima teguranku, bahkan kamu mengabaikan nasihatku, dan tidak mau menerima teguranku, maka aku juga akan menertawakan celakamu; aku akan berolok-olok, apabila kedahsyatan datang ke atasmu, apabila kedahsyatan datang ke atasmu seperti badai, dan celaka melanda kamu seperti angin puyuh, apabila kesukaran dan kecemasan datang menimpa kamu. Pada waktu itu mereka akan berseru kepadaku, tetapi tidak akan kujawab, mereka akan bertekun mencari aku, tetapi tidak akan menemukan aku.”

Bila orang menolak teguran Allah, Allah tidak bertanggung jawab apabila celaka menimpanya. Bahkan Allah tidak akan mendengar seruannya.
“Oleh karena mereka benci kepada pengetahuan dan tidak memilih untuk takut akan Tuhan, tidak mau menerima nasihatku, tetapi menolak segala teguranku, maka mereka akan memakan buah perbuatan mereka, dan menjadi kenyang oleh rencana mereka.”
Inilah intinya penolakan itu: tidak memilih untuk takut akan Tuhan. Jadi, ternyata takut akan Tuhan adalah PILIHAN. Jika kita menghadapi hal yang buruk dalam hidup kita, kita dapat memilih, percaya kepada Tuhan atau pahit hati terhadap Tuhan? Bila kita memilih untuk berserah kepada Tuhan dan percaya bahwa hal buruk itu nanti akan mendatangkan kebaikan, maka kita akan berproses dengan Tuhan. Proses itu bisa lama, bisa cepat, tergantung waktu Tuhan dan tergantung penyerahan diri kita kepada-Nya.

Ketika Bangsa Israel berjalan ke Kanaan, sebenarnya Kanaan sudah di depan mata, tetapi karena mereka memilih tidak takut akan Tuhan, mereka bersungut-sungut, maka mereka dibuat Tuhan berputar-putar selama 40 tahun:
“Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak Tuhan, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apakah yang ada dalam hatimu, yakni apakah engkau berpegang kepada perintah-Nya atau tidak.” (Ulangan 8:2)

Perjalanan bangsa Israel adalah atas kehendak Tuhan untuk merendahkan hati dan mencobai apakah yang ada di dalam hati bangsa Israel. Yang diproses adalah hati kita. 

Adakah kita percaya atau pahit hati?

Sungut-sungut/gerutu adalah salah satu tanda pahit hati. Apa hasilnya?
“Ketika Tuhan mendengar gerutumu itu, ia menjadi murka dan bersumpah: Tidak seorangpun dari antara orang-orang ini, angkatan yang jahat ini, akan melihat negeri yang baik, yang dengan sumpah Kujanjikan untuk memberikannya kepada nenek moyangmu, kecuali KALEB bin YEFUNE … dan YOSUA bin NUN… dan anak-anakmu yang kecil” (Ulangan 1:34-39).
Karena gerutu, semua orang Israel yang keluar dari tanah Mesir, tidak masuk ke tanah perjanjian, termasuk Musa. Hanya Kaleb dan Yosua, serta keturunan bangsa Israel yang masuk ke tanah perjanjian. Gerutu adalah tanda enggan atau bebal.

“Sebab orang yang tidak berpengalaman akan dibunuh oleh keenganannya, dan orang bebal akan dibinasakan oleh kelalaiannya.”

Jangan sampai, keengganan kita “membunuh” kesempatan kita untuk mengenal Tuhan lebih dalam. Jangan sampai kebebalan hati kita membuat kita lalai dan binasa. Tuhanlah yang pertama kali mengajak kita untuk berkomunikasi dengan kita, Dia ingin mengenalkan pribadi-Nya kepada kita. Supaya ketika kita kenal, kita percaya. Makin kenal, makin percaya. Makin percaya, makin mengasihi-Nya. Bahkan sekalipun Ia “diam”, kita tetap tahu, bahwa Ia mengasihi kita.

“Tetapi siapa mendengarkan aku, ia akan tinggal dengan aman, dan terlindung daripada kedahsyatan malapetaka.”

Lihat, betapa Tuhan ingin hati kita mendengarkan tuntunan-Nya. Semuanya bukan untuk Dia, tetapi untuk kita sendiri. Agar kita aman dan terlindung dari kedahsyatan malapetaka. Dia tahu, selama kita hidup, kita pasti akan menemui kedahsyatan malapetaka alias hal-hal yang buruk. Tapi bedanya, bagi orang yang mendengarkan Dia, tetap aman dan terlindung, tapi bagi yang tidak mendengarkan Dia, akibatnya tidak dilindungi. Maka malapetaka bebas menjamahnya.
Ia Gembala, Ia yang berjalan di depan kita bukan kita yang berjalan di depan Dia. Ketika Ia di depan kita,  ia ingin kita, domba-domba-Nya, mendengarkan suara-Nya dan mengikuti-Nya (Yohanes 10:4). Dia tahu, ketika kita bergantung pada kemampuan manusia (pikiran, perasaan, dan tekad), kita akan mudah sekali jatuh:

“Terkutuklah orang yang mengandalkan kekuatan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari pada Tuhan.” (Yeremia 17:5)

Bukalah hati, mendekat kepada Tuhan karena Ia sendiri menjanjikan berkat:
“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan. Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, yang tidak akan mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetapi hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.” (Yeremia 17:7-8).
Bagi saya, membuka hati dan mendengarkan Tuhan, adalah menunggunya dari hari ke hari. Dari hari ke hari, Ia menyatakan pertolongan-Nya. Sampai hari ini aku berkata: Engkau telah menolongku sampai hari ini. Besok? Aku percaya, Engkau yang menuntun. Kadang Dia menuntun untuk berlari cepat, terkadang hanya berdiam diri. Doaku, aku hanya ingin mengenal-Nya lebih dalam dan selalu berada dekat dengan-Nya. Ketika aku dekat dengan-Nya, otomatis segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupanku mendatangkan kebaikan.

“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padanyalah keselamatanku. Hanya Dia gunung batuku, hanya Dia kota bentengku, aku tidak akan goyah selama-lamanya.” (Mazmur 62:1-2)
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar